Bandung–Yogya Naik KA Malabar Ekonomi Premium, Worth It?

July 14, 2025


Halo semua…!

Beberapa hari yang lalu, kami melakukan perjalanan dari Bandung ke Yogyakarta menggunakan Kereta Api (KA) Malabar Ekonomi Premium. Ini adalah pengalaman pertama kami mencoba kelas ini. Jujur saja, sejak awal saya cukup penasaran. Apakah benar kursinya lebih nyaman dibanding kelas ekonomi reguler? Seberapa besar perbedaannya dengan kelas eksekutif yang biasanya kami naiki? Dan tentu saja, bagaimana suasana sepanjang perjalanan, mengingat ini juga pertama kalinya saya naik kereta jarak jauh pada siang hari.

Nah, di tulisan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman naik KA Malabar Ekonomi Premium, mulai dari proses boarding, kenyamanan tempat duduk, suasana di dalam kereta, hingga tips buat kamu yang mungkin berencana mencoba naik kereta ini juga. Yuk, simak cerita selengkapnya!


Kenapa Kami Memilih KA Malabar Ekonomi Premium?

Awalnya, untuk liburan, kami berniat berkunjung ke rumah orang tua di Malang. Namun, saat mengecek harga tiket kereta eksekutif di tanggal yang kami inginkan, ternyata harganya cukup tinggi. Suami pun menyarankan agar kami mencoba kelas Ekonomi Premium yang harganya lebih terjangkau.

Saya, yang belum pernah naik kelas ini, tentu sempat ragu. Apakah nyaman untuk perjalanan selama 13 jam? Apalagi, pengalaman sebelumnya naik kelas bisnis sambil membawa balita cukup melelahkan. Saat itu, saya bahkan sempat duduk di lantai kereta karena tak kuat lagi memangku kepala anak yang terus-menerus tertidur di pangkuan saya.

Baca juga: Naik Kereta Bersama Balita

Akhirnya, sebagai percobaan, saya memilih destinasi wisata yang letaknya di tengah-tengah antara Bandung dan Malang, lalu mengajak Ibu untuk bertemu di sana. Saya meminta Ibu memilih antara Semarang dan Yogyakarta dan beliau memilih Yogyakarta.

Setelah tujuan ditentukan, saya pun mengecek jadwal kereta yang berangkat pagi. Ada KA Lodaya pukul 06.41 WIB dengan gerbong Ekonomi New Generation dan KA Malabar pukul 09.42 WIB dengan gerbong Ekonomi Premium. Awalnya saya ingin mencoba kombinasi: berangkat dengan KA Lodaya, pulang dengan KA Malabar. Tapi karena KA Lodaya berangkat terlalu pagi, akhirnya kami memutuskan naik KA Malabar pulang-pergi.


Beli Tiketnya Gampang Nggak, Sih?

Untuk perjalanan kali ini, saya memesan tiket melalui aplikasi Access by KAI. Awalnya kami berencana pergi pada tanggal 29 Juni 2025, tapi kursi yang kami incar sudah penuh. Sempat sedih sih, rasanya seperti rencana liburan yang sudah disusun matang tiba-tiba buyar. Tapi akhirnya saya coba mencari jadwal seminggu setelahnya, tepatnya 6 Juli 2025. Alhamdulillah, tiket masih banyak dan kursi yang kami mau pun masih tersedia. Langsung saja saya pesan saat itu juga.

Proses pemesanan lewat aplikasi terbilang mudah. Kita tinggal memilih stasiun keberangkatan dan tujuan, memasukkan tanggal perjalanan serta jumlah penumpang. Setelah itu, muncul daftar kereta yang tersedia lengkap dengan informasi waktu keberangkatan, durasi perjalanan, waktu tiba, serta harga tiket per kelas. Usai memilih kereta, kita diminta mengisi data penumpang seperti nama dan nomor identitas, lalu memilih kursi, dan terakhir memilih metode pembayaran. Setelah pembayaran berhasil, bukti transaksi akan dikirim lewat email, dan tiket juga langsung bisa diakses di aplikasi.

Saya memesan tiket KA Malabar Ekonomi Premium rute Kiaracondong–Tugu Yogyakarta, pulang-pergi untuk empat orang. Kami memilih gerbong Premium 3 dengan kursi 10C–D dan 11C–D, baik untuk keberangkatan maupun kepulangan.

Alasan kami memilih posisi tersebut adalah karena gerbong Premium 3 hampir pasti berada di bagian tengah rangkaian (dari total empat gerbong Ekonomi Premium dalam satu perjalanan). Selain itu, kursi nomor 10 dan 11 saling berhadapan, sehingga terasa lebih nyaman dan akrab jika bepergian berempat seperti kami.


Stasiun Kiaracondong: Lebih Segar Setelah Renovasi

Pagi itu kami tiba di Stasiun Kiaracondong sekitar pukul setengah sembilan pagi dengan taksi online. Begitu turun, saya langsung dibuat pangling. Posisi pintu masuk dan area drop-off sudah berubah. Kini, pintu masuk terletak lebih dalam, di Jalan Babakan Sari II. Jumlah kursi tunggu di area drop-off juga berkurang dibanding kunjungan terakhir saya pada Desember 2024. Mesin CIC (Check In Counter) pun sudah tidak ada lagi di area depan.

Wajah Baru Stasiun Kiaracondong
(Sumber: Google Maps)
Begitu masuk ke lobi, suasananya benar-benar berbeda. Sebelumnya, kita akan disambut ruang tunggu penuh kursi dan loket pemesanan tiket yang terkesan lawas, serta petugas yang menjaga pintu masuk ke peron dengan meja seadanya. Kini, semuanya terlihat lebih modern dan lega. Tidak ada lagi kursi di area lobi. Yang tampak hanyalah papan pengumuman, mesin CIC, customer service, water station, dan beberapa fasilitas lainnya.

Pintu Masuk Menuju Lobi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Setelah mencetak boarding pass, kami berjalan ke arah kiri, menyusuri koridor menuju pintu keberangkatan. Di sepanjang koridor terdapat mushola, toilet, dan beberapa ruangan lainnya. Di pintu keberangkatan, petugas memeriksa boarding pass dan kartu identitas kami, juga memeriksa kartu keluarga karena anak-anak belum punya KIA, lalu memberi tahu peron keberangkatan dan mempersilakan menunggu di ruang tunggu dalam.

Ruang Tunggu Dalam
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kondisi ruang tunggu pagi itu cukup sepi dan terasa nyaman. Terakhir kali saya ke stasiun ini, proses renovasi masih berjalan. Sekarang, semuanya sudah rapi. Sky bridge pun sudah bisa digunakan, meskipun saya belum sempat mencobanya.

Baca juga: Liburan Sekolah ke Malang Raya (Bagian 1)

Sebelum kereta datang, saya sempat ke toilet. Saat itu toiletnya sedang dalam proses dibersihkan, jadi tidak ada tempat sampah di dalam bilik, semua masih dikumpulkan di luar.

Toilet Dekat Ruang Tunggu Dalam
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Saya pribadi memang lebih suka naik dari Stasiun Kiaracondong dibanding Stasiun Bandung. Selain karena lokasinya lebih dekat dari rumah, suasananya juga cenderung lebih tenang. Jumlah penumpang tidak terlalu ramai. Anak-anak pun masih bisa leluasa berjalan atau bermain sambil menunggu.

Saat perjalanan pulang dari Yogyakarta, kami kembali turun di Stasiun Kiaracondong. Setelah turun dari kereta, kami menunaikan salat Magrib di mushola yang terletak di ruang tunggu dalam. Suasana stasiun malam itu tetap terang dan terasa modern.

Situasi Stasiun Kiaracondong Saat Malam
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Sebelum pulang ke rumah, kami sempat makan mi di kios dekat area parkir mobil, tidak jauh dari pintu keluar. Sambil menunggu adik ipar datang untuk mengambil oleh-oleh, saya juga sempat ke toilet yang ada di koridor sebelum pintu keberangkatan. Secara keseluruhan, toiletnya bersih. Hanya saja, ada satu bilik yang lantainya tergenang air entah karena apa.

Gerbong Ekonomi Premium, Sekeren Apa Sih?

Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, ini adalah pertama kalinya kami mencoba kelas Ekonomi Premium dan ternyata masih masuk kategori nyaman. Interior gerbong terlihat bersih dan modern, didominasi warna krem dan abu-abu. Pencahayaannya cukup terang, dan kesan pertama saat masuk ke dalam adalah: rapi, bersih namun sedikit padat.

Kursinya cukup lebar, dan sandarannya bisa direbahkan, meskipun hanya sedikit. Sayangnya, jarak antar kursi tidak terlalu lega. Saat saya mencoba merebahkan sandaran di awal perjalanan, penumpang di belakang sempat terlihat kaget. Sejak itu, saya jadi segan dan memilih untuk tetap duduk tegak sepanjang jalan.

Di kelas ini, tempat duduk tidak bisa diputar. Setengah deret menghadap sesuai arah kereta berjalan dan setengah lagi berlawanan arah kereta. Jadi hanya kursi tengah (biasanya nomor 10 dan 11) yang posisinya saling berhadapan. Untuk penumpang yang bepergian berempat seperti kami, konfigurasi ini terasa lebih nyaman karena bisa tetap saling berinteraksi sepanjang perjalanan.

Situasi Gerbong Ekomoni Premium
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dari segi fasilitas, gerbong ini dilengkapi AC sentral, jadi suhu ruang tidak bisa diatur masing-masing. Tapi untungnya, sepanjang perjalanan suhunya tidak terlalu dingin karena kereta berangkat di siang hari. Di setiap pasangan kursi terdapat dua colokan listrik dengan dudukan kecil di atasnya. Posisi colokannya cukup nyaman, jadi kita bisa tetap mengisi daya ponsel atau gadget lain tanpa harus berebut.

Di sisi dinding gerbong juga terdapat dua buah gantungan, bisa dipakai untuk menaruh jaket, tas belanja, atau barang ringan lainnya. Sementara di bagian atas tempat duduk tersedia kompartemen bagasi, ukurannya cukup untuk tas ransel, koper kabin, atau beberapa tentengan.

Baca juga: Naik Ferry ke Singapura Asyik Juga

Di setiap gerbong tersedia toilet pria dan wanita. Fasilitas toilet ini cukup lengkap dan secara umum mirip dengan toilet pada kelas eksekutif. Toilet wanita dilengkapi dengan kloset duduk, sedangkan toilet pria menggunakan kloset jongkok. Selain itu, di dalam toilet tersedia wastafel, cermin, dispenser sabun, dispenser sanitizer, jet shower, tisu toilet, plastik pembungkus sampah, dan tempat sampah yang terletak di bawah wastafel. Semuanya tertata dengan cukup kompak dan rapi, sehingga tetap nyaman digunakan selama perjalanan.

Oh ya, bagi penumpang yang ingin salat, mushola kecil tersedia di gerbong restorasi. Letaknya persis di sebelah ruang makan. Ukurannya memang tidak luas, hanya cukup untuk satu hingga dua orang salat bergantian, tapi kondisi ruangannya bersih, wangi, dan tertata rapi. Disediakan sajadah dan mukena, meskipun untuk wudhu tetap harus dilakukan di toilet karena belum tersedia tempat wudhu khusus di mushola.

Bagi saya pribadi, adanya mushola di dalam kereta ini menjadi nilai tambah tersendiri. Kita bisa tetap menjalankan ibadah tepat waktu tanpa harus menunggu tiba di stasiun atau menundanya hingga malam.


Makan di Kereta: Perlu Bawa Sendiri atau Beli Saja?

Tak lama setelah naik kereta, anak sulung saya sudah mengeluh lapar. Padahal waktu itu masih sekitar pukul setengah sebelas siang. Karena kami memang tidak membawa bekal makanan berat—hanya membawa beberapa cemilan—akhirnya saya mengajaknya menuju gerbong restorasi untuk membeli makan. Saya tahu biasanya ada pramugara dan pramugari yang akan berkeliling menawarkan makanan, tapi sepertinya masih lama, dan anak saya sudah tak sabar.

Gerbong restorasi terletak cukup jauh dari tempat duduk kami, terpisah dua gerbong. Saat kami sampai, suasananya sudah cukup ramai. Beberapa penumpang sedang duduk sambil menikmati makanan, dan semua meja sudah penuh. Kami sempat berniat makan di tempat, tapi karena semua meja terisi, akhirnya kami membeli makanan untuk dibawa ke kursi.

Setelah melihat-lihat buku menu, anak saya memilih Nasi Goreng Parahyangan Legend, sedangkan saya tertarik mencoba Nasi Chicken Bulgogi. Kami juga membeli air mineral 600 ml sebagai tambahan. Harga makanan sekitar Rp40.000-an, sedangkan air mineral masih di bawah Rp10.000. Sayangnya saya lupa harga pastinya.

Baca juga: Mudik Berdua dengan Anak Saat Hamil Muda

Setelah kembali ke kursi, kami langsung menyantap makanan yang sudah dibeli. Dalam satu porsi Nasi Goreng Parahyangan Legend terdapat nasi goreng, telur ceplok, ayam goreng, kerupuk udang, potongan timun, dan saus sambal. Sedangkan untuk Nasi Chicken Bulgogi, isinya terdiri dari nasi putih, telur dadar, sayuran campur, serta ayam bumbu bulgogi yang ditumis bersama potongan wortel dan taburan wijen.

Kiri: Nasi Chicken Bulgogi
Kanan: Nasi Goreng Parahyangan Legend
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Rasanya enak, cocok dengan selera kami masing-masing, dan cukup mengenyangkan. Anak saya bahkan tidak sanggup menghabiskan ayam dan telurnya. Begitu juga dengan saya, ayam, telur, bahkan nasinya masih tersisa. Akhirnya, sisa makanan kami simpan kembali untuk dimakan nanti saat rasa lapar datang lagi.

Oh ya, selain menu berat seperti nasi, di gerbong restorasi juga tersedia snack, kopi, teh, mi instan, dan roti kemasan. Kalau kamu tidak terlalu lapar, cukup beli snack atau minuman panas untuk teman perjalanan.

Untuk cemilan, kami memang sudah membawa cukup banyak dari rumah. Ada biskuit, roti, kacang, keripik singkong dan air minum. Jadi setelah makan siang, kami tidak jajan lagi selama perjalanan.

Berbeda dengan perjalanan pergi, saat pulang dari Yogyakarta saya lebih memilih untuk membeli makanan di stasiun sebelum naik kereta, menurut saya ini jauh lebih hemat. Saya membeli nasi ayam krispi yang dijual di salah satu gerai di stasiun, dan menyimpannya untuk dimakan nanti setelah kereta berangkat. Meskipun menunya tidak semewah yang dijual di dalam kereta, tapi rasanya tetap oke dan porsinya pun cukup.

Kalau kamu bepergian bersama anak-anak atau orang yang mudah lapar di perjalanan, bawa bekal sendiri tentu lebih hemat. Tapi kalau ingin praktis dan tidak mau ribet, beli di kereta pun bukan pilihan yang buruk. Makanannya enak dan cukup mengenyangkan, hanya saja harganya memang sedikit lebih mahal.

Jangan lupa bawa tisu basah dan tisu kering, apalagi kalau bepergian dengan anak-anak. Dua benda sederhana ini bisa jadi penyelamat sepanjang perjalanan!


Kebersihan, Keramahan Petugas dan Ketepatan Waktu

Satu hal yang cukup membuat saya terkesan selama perjalanan dengan KA Malabar adalah kebersihannya yang benar-benar terjaga. Mulai dari gerbong penumpang, gerbong restorasi, toilet, hingga mushola, semuanya tampak bersih, rapi, dan terawat. Tidak ada lagi kesan bahwa kelas ekonomi itu identik dengan suasana kumuh seperti yang saya ingat saat kecil dulu.

Hal menarik lainnya adalah kantong sampah (waste bag) yang kini tidak lagi menggunakan bahan plastik, melainkan dari kertas yang lebih ramah lingkungan. Meski bentuknya sederhana, kantong ini sangat berguna untuk menampung sampah kecil selama perjalanan. Petugas kebersihan juga rutin berkeliling untuk mengambil sampah, sehingga area tempat duduk tetap bersih. Sangat membantu bagi kami yang membawa anak-anak yang gemar ngemil.

Waste Bag Sebelum dan Setelah Diisi Sampah
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Selama perjalanan ke Yogyakarta semua berjalan normal, namun saat perjalanan pulang ke Bandung, saya sempat mengalami sedikit kendala. Toilet yang paling dekat dengan gerbong kami ternyata airnya tidak keluar—entah karena habis atau ada gangguan teknis. Untungnya, toilet di gerbong sebelah masih bisa digunakan. Selain itu, saya juga sempat mendapati dispenser sanitizer dalam kondisi kosong. Memang tidak terlalu mengganggu, tapi akan lebih baik jika hal seperti ini bisa dicek secara berkala.

Baca juga: Malu Karena Wastafel

Di luar kendala kecil tersebut, saya cukup puas dengan pelayanan para petugas. Mulai dari pramugara dan pramugari, petugas kebersihan, hingga petugas keamanan, semuanya ramah dan informatif. Beberapa kali mereka dengan sopan membantu penumpang yang kesulitan, juga menyapa penumpang dengan senyum yang ramah.

Hal lain yang patut diapresiasi adalah ketepatan waktu. Kereta berangkat sesuai jadwal dan tiba di setiap stasiun tepat waktu, termasuk saat tiba di Yogyakarta dan kembali ke Bandung. Semua jadwal yang tercantum di aplikasi Access by KAI sesuai dengan kondisi di lapangan.


Perjalanan Siang Hari: Bikin Bosan atau Justru Seru?

Ini adalah pengalaman pertama saya naik kereta jarak jauh di siang hari. Biasanya kami selalu memilih perjalanan malam agar anak-anak bisa tidur sepanjang jalan dan waktu di kereta terasa lebih singkat. Tapi karena waktu tempuh dari Bandung menuju Yogyakarta hanya sekitar 6,5 jam, kami memutuskan berangkat siang hari supaya tiba sebelum malam dan tidak mengganggu jam tidur anak-anak.

Ternyata, perjalanan siang hari cukup menyenangkan untuk jarak sedang. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan indah. Mulai dari hamparan sawah yang hijau, perbukitan, jembatan tinggi di atas sungai, hingga perkampungan kecil yang beragam. Saat melewati hamparan sawah yang hijau dan pegunungan di kejauhan, rasanya seperti diingatkan lagi betapa indahnya Indonesia dari balik jendela kereta.

Pemandangan yang Sempat Tertangkap Kamera
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Namun, meskipun pemandangannya menyenangkan dan suasananya terasa hidup, saya harus jujur bahwa perjalanan siang hari lebih cocok untuk penumpang dewasa atau anak yang sudah besar. Setelah beberapa jam, anak saya yang masih balita mulai terlihat bosan. Untungnya, perjalanan ini bertepatan dengan jam tidur siangnya, jadi sebagian waktu ia habiskan untuk tidur. Kalau tidak, mungkin sudah mulai rewel karena kelelahan.

Jadi, kalau ditanya: “Perjalanan siang hari itu enak nggak sih?” Jawabannya: enak, seru, dan menyegarkan tapi mungkin bukan pilihan terbaik kalau membawa balita yang aktif.

Untuk saya pribadi, kalau harus menempuh lebih dari 10 jam perjalanan dengan anak kecil, saya akan tetap memilih kereta malam. Lebih tenang, dan anak-anak bisa tidur lebih lama. Tapi sesekali mencoba siang hari, apalagi dengan rute seindah ini, tetap jadi pengalaman yang menyenangkan.


Stasiun Tugu, Titik Awal dan Akhir Perjalanan

Kami tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta sekitar pukul setengah lima sore. Saat itu suasananya sangat padat. Penumpang yang baru turun berbarengan dengan rombongan yang hendak naik, membuat antrean panjang di area peron. Karena peronnya sempit dan letaknya berdampingan langsung dengan rel, jujur saja, saya sempat merasa waswas dan takut terdorong ke sisi rel. Apalagi saat itu saya menggendong si bungsu sambil membawa tas tentengan.

Situasi Stasiun Tugu Saat Saya Datang
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Situasi yang sama juga saya alami saat akan kembali ke Bandung beberapa hari kemudian. Ramai dan padat, bahkan sampai harus berhenti menunggu giliran naik ke gerbong. Bahkan suami saya sempat tertahan cukup lama di luar gerbong, hingga membuat anak-anak cemas dan takut papanya tertinggal.

Situasi Stasiun Tugu Saat Saya Hendak
ke Bandung
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dibandingkan dengan Stasiun Kiaracondong yang kini tampak lebih modern dan lapang, Stasiun Tugu terasa lebih lawas dan sibuk. Hal ini mungkin karena Stasiun Tugu merupakan stasiun besar yang menjadi pintu utama menuju pusat kota Yogyakarta, sekaligus titik temu berbagai jurusan kereta. Ditambah lagi, Yogyakarta adalah salah satu destinasi wisata utama di Pulau Jawa, sehingga wajar jika lalu lintas penumpangnya jauh lebih padat.

Baca juga: Liburan Sekolah ke Malang Raya (Bagian 2)

Setelah keluar dari peron, kami terlebih dahulu menunaikan salat Asar. Musholanya cukup besar dan bersih, namun kipas angin di dalamnya terasa sedikit terlalu kencang bagi saya, hingga mukena yang saya kenakan sempat berkibar-kibar tertiup angin.

Setelah salat, kami mencari Ibu dan adik saya yang sudah menunggu di ruang tunggu luar dekat pintu selatan stasiun. Kami memang keluar melalui pintu selatan, karena dari sana hanya tinggal jalan kaki menuju penginapan yang berada di Jalan Dagen, dekat kawasan Malioboro. Jalanan tampak basah saat kami melangkah ke parkiran stasiun. Sisa hujan yang baru saja reda sebelum kami tiba.

Saat hari kepulangan, situasinya sedikit berbeda. Kami berangkat dari penginapan dengan menggunakan taksi online, dan kali ini masuk melalui pintu timur. Adik saya menyebutnya sebagai pintu yang “bagus”, dan saya bisa memahami kenapa. Pintu timur ini memang terlihat lebih modern dan teratur. Bahkan di sana kami disambut oleh patung atau balon besar berbentuk tokoh dari film Jumbo. Suasananya juga tidak sepadat sisi selatan, jadi terasa lebih tenang untuk masuk.

Pintu Timur
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Meskipun dua kali kunjungan kami ke Stasiun Tugu terasa cukup padat dan ramai, ada banyak kesan yang kami bawa. Entah itu dari dinamika penumpangnya, suasana khas stasiun lama, atau pengalaman berjalan kaki di bawah langit mendung Yogya setelah turun dari kereta. Titik awal dan akhir perjalanan kami memang sibuk, tapi tetap menyisakan rasa hangat yang khas.


Perbandingan Ekonomi Premium dengan Kelas Lain

Kalau dibandingkan dengan kelas ekonomi reguler, kelas Ekonomi Premium jelas terasa jauh lebih nyaman. Kursinya lebih empuk, sandarannya bisa direbahkan meskipun tidak terlalu jauh, dan suasana gerbongnya pun terasa lebih bersih dan tenang. Bahkan, menurut saya, kelas ini juga lebih baik dibandingkan kelas bisnis yang dulu pernah saya coba—yang sekarang sudah tidak ada lagi di banyak kereta jarak jauh.

Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan kelas eksekutif?

Perbedaannya tidak terlalu besar, terutama jika posisi duduk saling berhadapan. Karena di kelas eksekutif, saat kursi diputar untuk berhadapan, tumpuan kaki (footrest) yang menempel di belakang kursi tidak bisa digunakan. Jadi untuk perjalanan bersama keluarga dengan posisi kursi berhadapan kondisinya hampir sama.

Namun tentu saja, ada beberapa hal yang menjadi kekurangan dibandingkan kelas eksekutif. Misalnya, jarak antar kursi yang lebih sempit, sehingga membuat saya agak sungkan untuk merebahkan sandaran ke belakang. Selain itu, di Ekonomi Premium tidak tersedia meja lipat, dan penumpang juga tidak mendapatkan fasilitas selimut gratis seperti di kelas eksekutif.


Naik KA Malabar Ekonomi Premium, Worth It Nggak?

Perjalanan kami kali ini menggunakan KA Malabar Ekonomi Premium dari Bandung ke Yogyakarta benar-benar memberikan pengalaman baru yang menyenangkan. Mulai dari proses pemesanan tiket yang mudah, kondisi gerbong yang nyaman dan bersih, pelayanan petugas yang ramah, hingga ketepatan jadwal yang bisa diandalkan, semuanya cukup memuaskan.

Secara keseluruhan, perjalanan kami dengan KA Malabar Ekonomi Premium memberikan pengalaman yang lebih dari ekspektasi saya. Meski ada sedikit kendala, hal tersebut tidak mengurangi kenyamanan dan pengalaman baik yang kami rasakan. Jika ini wajah baru kereta ekonomi, maka saya tidak ragu untuk naik lagi di lain waktu.

Kalau kalian sedang merencanakan perjalanan dengan kereta api jarak jauh, terutama bersama keluarga, kelas Ekonomi Premium bisa jadi pilihan yang layak dipertimbangkan. Apalagi jika ingin tetap nyaman tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Dan satu lagi, jangan lupa pesan tiket dari jauh-jauh hari, terutama kalau kamu ingin duduk bersebelahan atau berhadapan.

Semoga cerita perjalanan ini bisa menjadi referensi atau gambaran buat kamu yang penasaran dengan KA Malabar Ekonomi Premium. Selamat merencanakan perjalanan, dan semoga pengalamanmu nanti juga menyenangkan!


You Might Also Like

0 komentar