Masa Lalu yang Terlewatkan
October 31, 2025Langit Bandung malam ini bersinar kelabu, tapi gemerlap lampu panggung dan dentuman musik dari Bandung Music Festival menepis segala kemuraman malam. Ribuan orang memadati Lapangan Gasibu, melompat-lompat dalam euforia, tapi Bara malah terpaku di balik panggung, menyandang tas gitarnya, larut dalam lamunan.
Ia seharusnya gugup, seperti biasanya sebelum tampil. Tapi malam ini, ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Atau lebih tepatnya—seseorang.
“Andin,” gumamnya lirih.
Nama itu bagai mantra. Membuka pintu kenangan yang sudah lama terkunci. Bara terlempar kembali ke masa lalunya di sebuah gang kecil di wilayah Batununggal, ketika hujan, sepeda ontel, dan suara tawa riang adalah bagian dari hari-harinya.
Andin adalah tetangga, sahabat, sekaligus cinta pertamanya. Meski waktu itu ia belum tahu apa arti cinta, perasaannya sudah sangat nyata. Ia senang duduk di teras rumah menanti Andin melintas dengan sepeda kesayangannya, rambut panjang yang dikuncir kerap terbang ditiup angin.
Kadang, diam-diam, ia menyelipkan sebungkus cokelat di tas sekolah Andin. Sebuah isyarat kecil yang berharap dimengerti.
Setiap kali Andin pulang dari ekskul, Bara juga selalu muncul dengan dua es lilin cokelat dalam genggaman. Itu semacam ritual tak tertulis, wujud rasa yang tak pernah ia ucapkan.
Bara teringat satu sore yang masih melekat dalam memorinya. Mereka duduk berdampingan di bangku beton taman kecil dekat sekolah. Seragam putih abu mereka lecek karena dipakai seharian, dan hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menguar lembut.
“Silakan, Tuan Putri,” ucap Bara sambil menyodorkan es lilin ke hadapan Andin.
Andin tersenyum lebar. “Kalau kamu nggak bawa ini tiap habis ekskul, aku bisa ngambek, tahu.”
Bara nyengir. “Iya, iya. Sudah tugas hamba membeli es lilin dan menyetorkannya kepada Tuan Putri Andin,” canda Bara sambil menirukan gaya bicara pelayan kerajaan.
Andin terbahak, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku tasnya. “Ini buat kamu.”
Bara mengernyit. “Apa tuh?”
“Pick gitar. Kamu kan suka banget main gitar. Anggap aja ucapan terima kasih karena udah jadi supplier es lilin paling konsisten,” kata Andin sambil menyodorkannya.
Bara menerima pick gitar berwarna merah—dengan inisial BA—sambil tersenyum miring. “Wah, nggak sia-sia jadi kurir es lilin tiap minggu. Makasih, ya.”
Sore itu, seperti banyak sore lainnya, dihabiskan dengan obrolan ringan soal guru yang galak, lagu dari radio, dan mimpi-mimpi yang masih samar bentuknya. Saat itu, dunia terasa sederhana; mereka hanya memikirkan hari-hari yang penuh tawa, bersepeda bareng sepulang sekolah, dan berbicara tentang masa depan yang mereka bayangkan akan selalu bersama.
Hingga suatu hari, saat kenaikan kelas 2 SMA, Andin harus pergi. Pindah ke Semarang mengikuti pekerjaan orang tuanya. Tak ada pesan perpisahan, tak ada pelukan atau sekadar lambaian tangan. Sejak saat itu, bangku taman tak lagi didatangi, dan sepeda yang biasanya melintas di depan rumah Bara hanya tinggal bayang. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Bara belajar apa itu sepi.
Dan kini, setelah lebih dari sepuluh tahun, gadis yang pernah mengisi hatinya itu berdiri tak jauh dari tempatnya menunggu. Andin sibuk menempelkan potongan kain dekoratif di dinding latar panggung. Rambutnya yang dulu selalu dikuncir kini digerai sebahu, ia tampak lebih dewasa, tapi senyumnya masih sama.
Bara ingin menyapa, tapi bibirnya terasa kelu.
“Bara, kita naik tiga lagu lagi!” seru Denny, vokalis band mereka.
Bara hanya memberikan isyarat jempol dengan tangan kanannya. Ia tidak mau memalingkan pandangannya dari Andin, walau hanya sedetik—dan saat itulah pandangan mereka bertemu.
Bara menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya. Lalu ia memberanikan diri, tersenyum, dan berjalan mendekat. “Andin?” sapa Bara ragu-ragu. Sayangnya suara Bara tenggelam dalam keramaian.
“Andin, kan?” Bara mencoba lagi, suaranya sedikit lebih jelas kali ini, meskipun jantungnya masih berdegup kencang.
Perempuan itu tertegun sejenak, seolah sedang berusaha mengenali sosok yang berdiri di depannya. “Bara?” suaranya lembut, tapi Bara bisa menangkap sedikit keraguan dalam nada itu.
Bara mengangguk, tertawa kecil untuk menutupi kegugupannya. “Hai! Masih ingat, kan? Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi. Sejak kamu pindah, aku nggak pernah tahu kabar kamu.”
Andin tersenyum, sedikit canggung. “Iya, aku juga... sempat kehilangan jejak. Udah lama banget ya.”
“Udah belasan tahun. Aku kira kamu nggak akan pernah balik ke Bandung.” Rasa rindu yang sudah lama terkubur tiba-tiba muncul kembali, seperti ombak yang datang tanpa diundang.
"Aku juga nggak nyangka bisa ke Bandung lagi. Apalagi ketemu sama kamu kayak gini. Kamu masih main musik? Gitaris?" Ia melirik ke gitar yang dibawa Bara. "Keren!" Andin tersenyum cerah.
Kecanggungannya hilang begitu melihat pick gitar usang berwarna merah—dengan inisial BA—yang tergantung di tas gitar Bara. Inisial yang masih menjadi misteri apa kepanjangannya. Bara Aditya atau Bara Andin? Hanya Andin dan Tuhan yang tahu jawabannya.
Bara ikut tersenyum “Iya. Sekarang aku lebih sering main band di acara-acara kayak gini. Kalau kamu, tim dekorasi?” Bara menunjuk kain-kain dan cat semprot di tangannya.
"Begitulah. Seniman freelance. Kadang dekor panggung, kadang wedding, kadang pameran seni," jawab Andin dengan senyum tipis.
Bara menatap Andin dengan jahil, lupa akan rasa canggungnya. Ia teringat obrolan mereka saat remaja.
"Aku ingat, waktu SMP, kamu selalu bilang pengin jadi penulis, bukan seniman.”
Andin tertawa—renyah dan lepas, seperti yang selalu Bara ingat.
"Iya, dulu aku belum paham kalau jadi penulis itu ternyata nggak gampang. Tapi jadi seniman asyik juga. Aku bisa bebas menuangkan ide-ide kreatifku dalam berbagai bentuk, bukan cuma tulisan. Aku pun bisa ketemu orang-orang dengan visi yang sama. Ternyata... aku betah di dunia seni.”
“Kamu belum berubah, ya. Masih selalu semangat kalau cerita tentang hal yang kamu suka. Matamu berbinar… kayak lampu sorot di panggung.” Bara tersenyum, penuh kekaguman.
Ada keheningan singkat saat Bara dan Andin saling menatap, seolah sedang mencerna kenangan yang tiba-tiba muncul kembali. Seperti potongan waktu yang terputar ulang, mereka teringat masa-masa remaja: sore-sore ketika mereka duduk di teras rumah masing-masing, menatap langit yang mulai gelap sambil bercerita tentang hal-hal sepele. Mereka sering bertukar buku atau komik, membahas kisah superhero dan petualangan fantasi yang mereka baca. Kadang, mereka berjalan berdua ke warung di gang sebelah, membeli bala-bala atau es goyobod, sambil mengobrol tanpa henti, tanpa peduli waktu yang terus berjalan.
"Aku senang akhirnya kita bisa ketemu lagi," ujar Bara, memecah keheningan. Suaranya pelan, namun penuh makna.
Andin menatapnya dalam-dalam. “Aku juga. Rasanya... seperti kembali ke masa lalu.”
“Andin!” teriak seorang kru dari kejauhan. “Latar belakang yang itu belum jadi!”
Andin memutar tubuh, memberikan tanda oke dengan jempol dan telunjuk pada temannya, lalu menoleh pada Bara.
“Maaf ya, aku harus balik beresin ini dulu.”
Bara tersenyum simpul. “Iya. Lanjutin aja dulu. Aku bakal manggung nanti. Kalau sempat, nonton, ya?”
Andin membalas semyuman Bara. “Tentu.” Ia lalu berbalik, kembali menekuni pekerjaannya.
Tak lama kemudian, Denny menghampiri Bara. “Sudah hampir waktunya, bro. Lo siap?”
Bara tidak menjawab. Ia hanya menepuk bahu Denny pelan, lalu melangkah kembali ke belakang panggung.
*****
Bagi Bara, pertemuannya dengan Andin di festival musik terasa seperti nostalgia semata. Kenangan masa lalu yang muncul sekelebat di antara sorot lampu dan dentuman lagu. Ia mengira semuanya akan berakhir di sana. Namun takdir, rupanya, belum selesai menulis kisah mereka. Bara masih diberi kesempatan lagi, yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih sulit dilupakan.
Pertemuan kedua terjadi masih secara kebetulan, di sebuah toko musik dengan nuansa modern-retro di kawasan Jalan Sunda. Rak-rak piringan hitam tersusun rapi memanjang, dipenuhi sampul-sampul album lawas dan baru yang penuh warna. Lampu gantung bundar menyinari ruangan dengan cahaya lembut, memberi kesan tenang di tengah semerbak aroma kertas dan plastik segel album. Alunan musik klasik dari speaker di pojok ruangan mengisi suasana dengan syahdu. Selaras dengan langit mendung di luar sana.
Bara masuk sambil menyeka tetes air hujan di jaketnya—di luar masih gerimis—lalu berjalan menyusuri rak-rak yang ada. Tangannya sibuk menelusuri piringan hitam: Queen, Lionel Richie, The Beatles, Bon Jovi, hingga album lawas Chrisye semua lengkap ada di sini.
Ia tengah asyik membalik sampul album saat samar-samar langkah kaki mendekatinya. Tak lama, suara yang begitu dikenalnya menyusul.
“Bara?”
Bara menoleh. Detik itu juga, waktu seperti berhenti berputar.
“Andin?” Ia mematung sesaat, lalu tersenyum. “Hai! Kok bisa ketemu lagi? Bandung sempit banget ya.” Bara tertawa untuk menutupi rasa kagetnya.
Andin tersenyum tipis tapi hangat. Di tangannya ada album Romanza dari Andrea Bocelli.
“Sejak kapan kamu suka Andrea Bocelli?” tanya Bara sambil menunjuk piringan hitam di tangan Andin.
“Buat kado, sih.” Andin cepat-cepat menyembunyikan piringan itu di balik punggung, seperti menyimpan rahasia penting. Untungnya, Bara tidak menanyakan lebih lanjut. “Kalau kamu sendiri, lagi cari apa?”
“Smoke + Mirrors-nya Imagine Dragons,” jawab Bara. “Tapi belum ketemu. Mau bantu? Kalau ketemu, aku traktir kopi.”
Andin terkekeh. “Oke. Tapi kopi hitam, ya. Jangan kopi-kopian.”
Bara tersenyum, “Deal.”
Belasan tahun tak bersua, namun seolah waktu hanya diam sebentar di antara mereka.
Menit-menit berikutnya mereka habiskan untuk mencari piringan hitam yang diincar Bara. Sampai akhirnya…
“Ketemu!” Andin mengangkat piringan hitam di tangannya tinggi-tinggi. Dia melompat-lompat bersemangat. Bara hanya tertawa melihat tingkahnya.
“Secangkir kopi, ya.” Andin mengingatkan janji Bara. Bara mengangguk sambil tersenyum kecil. Dalam hati, ia tahu ini lebih dari sekadar secangkir kopi.
Mereka berdua keluar dari toko menuju kafe di seberang jalan. Hujan sudah reda, tapi langit masih mendung dan tampak akan memuntahkan hujan kembali. Kedua sahabat lama itu tertawa di bawah langit sore yang mulai menggelap.
*****
Bara mendapatkan nomor ponsel Andin saat pertemuan terakhir mereka minggu lalu. Nomor itu disimpan Bara dengan hati-hati, seperti menyimpan sepotong masa lalu yang tiba-tiba menjadi nyata.
Pada pertemuan mereka di toko musik yang berlanjut ke obrolan panjang di kafe seberang jalan—ditemani hujan yang tak kunjung reda dan aroma kopi yang menguar hangat—Andin mengetikkan nomornya ke ponsel Bara.
“Kalau suatu saat butuh jasa dekor, kabari aku, ya.” Andin tersenyum kecil, ada nada bercanda di ujung kalimatnya. “Tenang, khusus kamu aku kasih harga teman.” Begitulah caranya menyisipkan nomornya ke ponsel Bara—dengan dalih profesional, tentu saja.
Malam ini, Bara baru saja menggantung gitar di studio saat sebuah pesan dari Andin masuk, singkat, tapi cukup untuk membuat dadanya berdetak sedikit lebih cepat.
Andin: “Besok pagi aku mau cari keperluan dekorasi di daerah Banceuy. Kamu sibuk, nggak? Ikut, yuk. Sekalian aku mau ngasih brief untuk acara proyek seni kolaboratif bulan depan.”
Sekali lagi ingatan Bara melayang ke malam itu, saat mereka duduk berhadapan di kafe sambil menikmati suara rintik hujan.
Andin masih sibuk mengaduk cangkir keduanya. Matanya terpaku pada buih di permukaan kopi, seperti sedang menyusun kalimat yang tepat. Lalu akhirnya berkata, “Bar, aku mau minta tolong sesuatu.”
Bara terdiam menatap Andin, menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Aku lagi ngerjain proyek seni kolaboratif. Launching-nya bulan depan, di Selasar Sunaryo. Temanya tentang ruang personal—tentang apa yang dulu pernah disebut rumah. Isinya instalasi visual, seni tekstil, puisi, fotografi, musik dan masih banyak lagi.” Ia berhenti sebentar, lalu menatap Bara. “Aku pengin band kamu main di malam pembukaannya.”
Bara terlihat terkejut. “Serius? Kamu yakin?”
Andin mengangguk mantap. Diam-diam sejak pertemuannya dengan Bara, ia sudah mencari banyak informasi tentang sahabat masa kecilnya itu, termasuk musiknya. “Iya. Aku pengin ada sentuhan yang personal. Dan nggak tahu kenapa, aku kepikiran kamu. Musik kamu.”
Bara menunduk, menggenggam sendoknya. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan merambat di dadanya. “Kami nggak biasa main di pameran seni, lho.”
Andin tersenyum, lembut. “Justru itu. Aku pengin nuansanya beda. Dan aku percaya kalian bisa kasih suasana yang aku bayangkan.”
Bara mengangguk pelan. “Oke. Aku akan ngomong ke anak-anak. Tapi kamu juga harus bilang konsepnya gimana.”
“Nanti aku kasih brief-nya,” kata Andin cepat, lalu menambahkan dengan nada pelan, “Terima kasih, Bar.”
Bara hanya membalas dengan senyum kecil, sambil menatap piring nasi goreng yang tinggal sisa. Tapi hatinya penuh—dengan sesuatu yang belum sempat diberi nama, tapi terus bertumbuh sejak pertemuan mereka kembali.
Lamunan Bara buyar saat mendengar pintu studio terbuka. Denny melangkah masuk.
"Lo belum pulang, Bar? Kirain udah cabut."
"Eh, iya, belum. Bentar lagi, masih beres-beres." Entah kenapa, Bara sedikit salah tingkah. Ia baru teringat pesan dari Andin yang belum sempat dibalasnya.
Tanpa pikir panjang, Bara segera membalas:
Bara: "Kebetulan besok lagi nggak ada acara. Mau dijemput di mana dan jam berapa?”
Andin: "Nggak usah repot, nanti kamu capek. Kita ketemu langsung di lokasi aja, ya. Depan Kopi Aroma, pukul 10 pagi."
Bara: "Siap, Tuan Putri!"
Andin: Emoji tertawa
Bara tersenyum sendiri. Mungkin semesta belum benar-benar selesai menutup babnya.
*****
Sabtu pagi, sekitar pukul sepuluh, Bara menepikan motornya di depan toko Kopi Aroma. Harum biji kopi langsung menyergap begitu ia membuka helm. Bara menunggu di depan toko sembari berteduh dari panasnya matahari. Bandung memang sudah tidak sesejuk dulu. Di musim hujan pun, saat matahari bersinar, panasnya tetap terik.
Tak lama, Andin datang dengan ojek online, mengenakan jaket denim dan celana putih, lengkap dengan kacamata hitam yang ia lepas sambil tersenyum.
“Maaf ya, nunggu lama?” tanyanya.
Bara menggeleng. “Belum semenit. Langsung, nih?”
“Yuk, lha. Keburu siang,” jawab Andin, sambil melepas jaket dan memasukkannya ke dalam tas. Di balik jaket itu, ia mengenakan blus lengan pendek berwarna biru muda, yang tampak serasi dengan kulit kuning langsatnya.
Bara sempat tertegun. Terhipnotis oleh pesona Andin, tapi ia segera menguasai diri dan bergegas menyusul Andin yang sudah beberapa langkah di depan.
Mereka berjalan bersisian menyusuri trotoar, melewati deretan toko yang menjual aneka barang dan jasa di sepanjang Jalan Banceuy. Suasana sibuk dan panas, tapi Bara justru merasa nyaman karena ada Andin di sampingnya.
Andin masuk ke salah satu toko lampu. Ia berhenti di depan rak display, matanya tertarik pada lampu-lampu yang dipajang dengan berbagai warna.
"Permisi, Ko," Andin memanggil penjaga toko yang sedang merapikan barang. "Aku cari lampu yang bisa berubah warna kaya gini. Bisa kasih rekomendasi yang cocok buat outdoor?”
Penjaga toko itu menoleh, kemudian melangkah mendekat.
“Buat outdoor, ya? Sebentar.” Koko itu berjalan menyusuri rak-rak di dalam toko, lalu mengambil salah satu sampel lampu yang tersedia.
“Kalau untuk outdoor, saya sarankan LED RGB yang tahan cuaca seperti ini. Ada beberapa pilihan yang tahan air dan debu, jadi nggak perlu khawatir kalau kena hujan atau panas,” jelasnya.
Andin mengangguk, tertarik dengan penjelasannya.
“Berarti nggak masalah ya kalau ditempatkan di luar ruangan dalam waktu lama?”
“Betul. Untuk penggunaan outdoor, pilih yang punya rating IP65 atau lebih. Itu artinya lampu tahan air dan debu,” ujar penjaga toko sambil tersenyum.
“Soal kontrol warna, banyak juga yang bisa diatur pakai remote atau aplikasi di ponsel, jadi lebih fleksibel,” tambahnya.
Bara yang berdiri di dekat pintu masuk mengamati Andin dari kejauhan, membiarkannya berbicara dengan penjaga toko tanpa gangguan. Andin tampak begitu fokus, mendengarkan penjelasan dengan seksama, sesekali mencatat pada buku kecil yang dibawanya.
Ada sesuatu dalam cara Andin berbicara yang membangkitkan kenangan lama. Bara tersenyum tipis. Rasa kagum itu, perlahan, kembali merambati hatinya.
"Wah, keren ya, Ko. Ini juga hemat energi, kan?" tanya Andin setelah mendengar penjelasan dari Koko penjaga toko.
"Iya, LED itu jauh lebih hemat daripada lampu biasa. Selain itu, LED juga lebih tahan lama, jadi nggak perlu sering ganti." Koko penjaga toko menunjukkan beberapa jenis lampu outdoor sesuai keinginan Andin. "Kalau kamu butuh, saya bisa bantu pilihkan yang sesuai dengan budget dan kebutuhan."
Andin tersenyum puas. "Boleh, saya butuh beberapa buat acara nanti. Sama beberapa lampu untuk indoor juga. Terima kasih, Ko!”
Setelah menyelesaikan pesanan, Andin melangkah ke arah Bara dengan mata yang bersinar.
"Udah dapet lampu yang cocok," katanya dengan semangat.
"Bagus. Aku senang kamu udah dapet yang pas." Bara tersenyum, berusaha menutupi rasa kagumnya melihat Andin seperti itu. "Setelah ini, kita ke mana lagi?"
Andin membuka buku catatan kecilnya dan memberi tahu Bara apa saja yang masih harus mereka beli.
Mereka berpindah dari satu toko ke toko lainnya, dari Banceuy, ABC, Alkateri, hingga Suniaraja. Bara mengikuti di samping Andin, membantunya menanyakan harga serta membawa beberapa barang yang dibeli dalam jumlah kecil. Mereka berdiskusi ringan. Sesekali, Bara melontarkan candaan konyol yang membuat Andin terkekeh kecil.
Setelah semua kebutuhan selesai dibeli, Mereka memutuskan untuk menyantap soto Bandung di sebuah warung di Jalan Otto Iskandar Dinata. Berjalan kaki keluar-masuk toko di bawah terik matahari selama dua jam penuh memang cukup menguras energi. Namun, segala kelelahan itu langsung terbayar begitu mereka mencium aroma soto yang menggugah selera.
Duduk berhadapan di bangku kayu bundar, mereka menyantap soto panas dan segelas es teh manis dalam diam. Hanya suara sendok yang beradu dengan mangkuk dan hirupan pelan yang terdengar. Baru setelah mangkuk dan gelas mereka kosong, percakapan pun mulai dibuka.
“Aku senang kamu bisa nemenin hari ini,” ucap Andin, matanya menatap Bara dengan penuh rasa terima kasih. “Biasanya aku harus muter-muter sendiri, nanya sendiri, mikir sendiri. Tapi hari ini… rasanya lebih ringan.”
Bara tersenyum. “Aku juga senang. Rasanya kayak dulu… waktu kita naik sepeda sore-sore keliling kampung, nyari jalan yang belum pernah kita lewati.”
Andin tertawa, hangat. “Iya. Bedanya sekarang nggak ada es lilin di warung Teh Euis.”
Bara ikut tertawa pelan. “Dan nggak ada waktu sebanyak dulu.”
Sejenak mereka diam, hanya terdengar suara klakson dari kejauhan dan sendok logam yang bersentuhan dengan mangkuk keramik.
“Oh ya. Ini brief dan kontrak kerjasama yang kamu minta tentang pameran bulan depan.”
Andin merogoh tas punggung biru tuanya, menarik sebuah map bening yang berisi beberapa lembar kertas.
Bara menyambutnya dengan tangan yang masih sedikit dingin akibat gelas es teh kedua. Namun sebelum sempat membuka map itu, sesuatu terjatuh ke atas meja. Sebuah undangan.
Warnanya krem pucat dengan pita emas melintang di bagian atas. Inisial nama sepasang calon pengantin tercetak anggun di tengahnya.
Andin terdiam sesaat, menunduk, lalu cepat-cepat mengambilnya.
“Maaf,” ucapnya singkat, menyelipkan kembali undangan itu ke dalam tas.
Bara tidak berkata apa-apa. Tapi matanya mengikuti gerakan Andin, menangkap perubahan kecil di wajahnya—senyum tipis yang mendadak terasa dipaksakan.
“Terima kasih buat brief-nya,” kata Bara akhirnya, memecah jeda canggung yang tiba-tiba muncul. Ia membuka map dan melihat kertas pertama: judul besar tertulis RUANG PERSONAL (Tentang Apa yang Dulu Pernah Disebut Rumah).
“Semuanya ada di situ,” kata Andin. Suaranya kembali tenang, profesional.
Bara mengangguk pelan, lalu membuka lembar-lembar lain yang jumlahnya tak dia ingat. “Kayaknya, aku perlu waktu buat mempelajari semua ini.”
Andin tersenyum kecil, kali ini benar-benar tulus. “Kamu punya waktu tiga minggu.” Andin tersenyum simpul. “Hubungi aku jika ada pertanyaan.”
Sebelum mereka benar-benar beranjak dari warung soto, Andin kembali merogoh tas ranselnya. Gerakannya pelan, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu ia mengeluarkan amplop krem yang tadi jatuh di atas meja. Ia meletakkannya di antara dua gelas kaca berembun.
“Ini...” katanya lirih, “undangan pernikahanku.”
Bara terdiam. Matanya tertuju pada amplop itu. Ia tak segera meraihnya. Angin siang yang membawa debu jalanan tiba-tiba terasa dingin di kulitnya.
Andin menatap tangannya sendiri, tidak berani melihat ke arah Bara. “Dua bulan lagi. Di Semarang. Tapi ada resepsi kecil di Bandung juga. Kalau kamu sempat... datang, ya.”
Butuh beberapa detik sebelum Bara mengangguk pelan. “Iya, aku datang.”
Ia akhirnya mengambil amplop itu. Ujung jari mereka hampir bersentuhan. Andin tersenyum, senyum yang entah kenapa terasa lebih tenang dari sebelumnya, meskipun matanya sedikit sendu.
“Dan terima kasih juga karena mau main di acara pameran. Itu berarti banyak buat aku.”
Bara membalas senyum itu, meski dadanya seperti ditarik pelan ke arah yang tak ia tahu. “Terima kasih juga udah ngajak aku jadi bagian dari itu.”
Mereka berdiri. Warung makin ramai. Matahari terasa lebih menyengat dari tadi. Tapi ada hawa yang berbeda di antara mereka—seperti lembar baru yang terbuka, meski belum jelas akan ditulis dengan tinta apa.
Andin memesan ojek online, dan sebelum helm dipasang, ia menoleh.
“Sampai ketemu di galeri, ya.”
Bara mengangguk. “Sampai ketemu.”
Ketika motor Andin menjauh, Bara berdiri di trotoar, menggenggam undangan itu erat. Benda kecil yang terasa lebih berat dari apa pun yang pernah ia bawa. Karena di dalamnya, ada babak yang tak pernah benar-benar ia siapkan. Babak yang harus ia hadapi, meski hatinya belum selesai tinggal di masa lalu.
*****
Selasar Sunaryo Art Space, dari luar, tampak seperti rumah mewah yang tersembunyi di balik rindangnya pepohonan. Jalan berbatu yang membentang menuju bangunan berarsitektur modern itu seolah mengundang siapa pun untuk melambat, menenangkan langkah.
Langit Bandung sedang muram sore itu, awan kelabu menggantung, seolah tahu ada beban yang dipanggul Bara di dadanya. Udara pegunungan yang lembap dan dingin menempel di kulit, tapi tak cukup untuk menangkan pikirannya. Ia melangkah ke pelataran bersama teman-temannya, membiarkan gemerisik dedaunan menjadi latar dari perpisahan yang pelan-pelan tak bisa ia hindari.
Saat mereka tiba, pameran belum dibuka. Andin menyambut mereka di depan galeri dengan senyum lebar. Sore itu, ia mengenakan dress biru tua yang sederhana. Rambut sebahunya dihiasi jepit perak yang cantik, senada dengan warna gaunnya.
Andin mengajak mereka masuk ke dalam galeri, sambil memberi penjelasan singkat tentang proyeknya malam itu. “Selamat datang!” kata Andin, matanya berbinar. “Pasti kalian sudah tahu, pameran ini bagian dari proyek kecilku bersama beberapa seniman. Temanya adalah "Ruang Personal.”
Bara mengangguk, menatap sekeliling. “Aku bisa lihat sedikit jejak masa kecil kita di sini.”
Andin tertawa. “Mungkin karena inspirasinya memang datang dari situ. Tema ini digagas setelah pertemuan pertama kita di festival musik. Tapi ini belum semuanya. Yuk lanjut!”
Dinding galeri dihiasi instalasi yang memadukan kain, lampu, dan elemen daur ulang. Beberapa dekorasi mengingatkan Bara pada percakapan mereka di toko-toko sepanjang Jalan Banceuy, ABC, Alkateri dan Suniaraja waktu itu.
Bara behenti di depan salah satu karya. Sebuah lukisan semi-abstrak yang menggambarkan sepasang anak remaja bersepeda menyusuri jalan sempit, dengan langit jingga membentang luas di atas mereka. Ada keheningan yang menggantung di dadanya saat menatap warna-warna senja yang terasa begitu akrab. Di bawah lukisan itu, sebuah judul kecil tercetak di atas kertas linen: Pulang yang Tak Pernah Sama.
“Itu aku yang bikin,” suara Andin terdengar pelan di belakangnya. “Terinspirasi dari sore-sore kita dulu.”
Bara menoleh sejenak, lalu tersenyum kecil tanpa kata.
Denny menyenggol lengannya ringan, senyum jahil tersungging di wajahnya. “Ternyata, ya... ternyata,” bisiknya di telinga Bara, nada suaranya menggoda, tapi penuh pengertian.
Bara hendak membalas keisengan Denny, namun terhenti saat suara Andin terdengar dari arah depan.
“Dan... ini kejutannya,” ucap Andin, sambil melangkah pelan menuju ruang berikutnya.
Bara dan teman-temannya mengikuti Andin masuk ke sebuah ruang yang lebih kecil. Dinding-dinding putihnya menyimpan dunia penuh kenangan: lukisan gang sempit dengan tanaman rambat yang menjulur dari pot-pot tua, foto hitam-putih taman kecil dekat sekolah lama mereka, gambar mozaik dua orang remaja membaca komik bersama di teras rumah, instalasi gantung berbentuk es lilin dari kain transparan yang berputar pelan tertiup angin dari kipas langit-langit, dan masih banyak lagi. Semuanya terasa seperti potongan masa lalu yang dijahit ulang dengan benang rindu.
Bara terdiam lama di depan salah satu foto berukuran 30R yang menampilkan seorang remaja laki-laki sedang bermain gitar di balkon rumah.
“Itu lo, kan, Bar?” tanya salah satu temannya, setengah berbisik.
Bara hanya mengangguk pelan. Ia mengenal betul sosok dalam foto itu—dirinya sendiri, di masa remaja, tengah memetik gitar di balkon rumah orang tuanya. Sudut pengambilan gambarnya membuatnya tahu pasti, foto itu diambil diam-diam oleh seseorang yang mengenalnya dengan baik.
Bara melanjutkan langkahnya mengikuti Andin. Pada salah satu dinding yang menjadi transisi ke ruang berikutnya, tergantung sebuah keterangan kecil:
— A.P.
Ia mengenal inisial itu. A.P.—Andin Prameswari.
Bara menatap Andin, dan Andin menatapnya kembali. Tak perlu kata-kata panjang. Semua sudah tersampaikan lewat ruang, warna, dan udara yang mereka hirup bersama malam itu. Tapi tetap saja, dari seluruh kerumitan perasaan yang bersarang di dadanya, yang akhirnya keluar hanya kalimat sederhana:
“Terima kasih, Andin. Ini... indah.”
Air mata mulai menggenang di matanya. Bara cepat-cepat mengalihkan pandangan sebelum siapa pun melihatnya. Ia melangkah menuju ruangan lain, meninggalkan Andin bersama teman-temannya, meninggalkan kenangan yang untuk sesaat hidup kembali.
Pameran itu bukan hanya proyek seni. Itu adalah lembar memoar yang disulam dari fragmen kenangan mereka berdua. Dan malam ini, Bara akan menutup acara dengan sebuah penampilan spesial. Sebuah lagu yang akan jadi penanda terakhir dari babak ini sebelum ia membuka yang baru.
Langit sore perlahan memudar, digantikan gelap malam yang tenang. Pameran telah dibuka beberapa menit yang lalu. Di dalam galeri, suasana menjadi lebih khidmat. Lampu-lampu hangat menyala, cahaya-cahaya menari di antara karya-karya yang terpajang. Bara dan teman-temannya bersiap membuka pameran dengan beberapa lagu ciptaan mereka—musik yang digubah khusus untuk malam ini.
Panggung itu sederhana. Sebuah sudut kecil di salah satu sisi galeri, dengan latar kain putih dan lampu-lampu kuning temaram yang menggantung rendah. Seakan seluruh tempat itu sengaja dirancang untuk menampung keheningan yang lembut.
Bara berdiri di tempatnya, menyetel gitar. Jemarinya sempat bergetar, bukan karena gugup tampil di depan penonton, tapi karena sesuatu yang akan ia sampaikan lewat lagunya malam ini.
Nada-nada dari gitar Bara mulai mengalun, menyatu dengan suasana galeri yang syahdu. Lagu demi lagu mengalir tanpa cela, masing-masing membawa nuansa dan cerita sendiri. Musik mengisi ruangan dengan kehangatan, tapi hati Bara belum sepenuhnya berada di sana. Ia bermain dengan sempurna, namun pikirannya masih melayang mengingat setiap detail dari karya ruang personal milik Andin yang dilihatnya tadi.
Pada lagu terakhir, Denny menoleh ke arahnya dan memberi isyarat kecil.
“Siap, Bar?” bisiknya sambil menyodorkan mikrofon.
Bara mengangguk pelan, lalu melangkah ke tengah panggung. Gitar akustik tergantung di bahunya, dan sorot lampu lembut jatuh tepat di wajahnya. Ia menarik napas panjang, matanya menyapu seisi ruangan sebelum akhirnya berhenti pada satu titik: Andin, yang berdiri tenang di antara para pengunjung. Gaun yang dikenakannya seolah menyatu dengan cahaya temaram galeri.
Bara tersenyum tipis. Suaranya tenang, tapi menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.
“Malam ini, aku akan menyanyikan sebuah lagu. Bukan lagu ciptaan kami… tapi ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang sejak lama ingin aku sampaikan. Untuk seseorang yang, mungkin tanpa ia tahu, telah menjadi inspirasi pada sebagian besar lagu-laguku.”
Ia menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya lagi, menatap lurus ke arah Andin yang ternyata juga sedang menatapnya.
“Semoga lagu ini cukup untuk menghangatkan malam kita semua.”
Dan ketika jemarinya mulai memetik senar pertama, suasana pun berubah. Seolah waktu berhenti sejenak, memberi ruang bagi satu kisah lama untuk bernapas kembali.
“Kemana kau selama ini
Bidadari yang ku nanti
Kenapa baru sekarang
Kita dipertemukan.”
Suara Bara mengalun tenang dan jujur. Lirik demi lirik meluncur dari dadanya, seolah sudah lama mengendap dan menunggu tempat yang tepat untuk dilepaskan. Dan malam ini, inilah tempatnya. Di hadapan karya-karya yang lahir dari kenangan mereka. Di hadapan seseorang yang pernah ia jaga namanya dalam diam begitu lama.
“Mungkin salahku melewatkanmu
Tak mencarimu sepenuh hati
Maafkan aku.”
Ruangan sunyi. Hanya musik dan suara Bara yang terdengar. Beberapa pengunjung menunduk, beberapa menatap lurus tanpa berkedip. Tapi Bara hanya melihat satu wajah—wajah yang dulu ia cari di antara lorong sekolah, di bangku taman, di balik jendela kelas.
“Walau 'ku terlambat
Kau tetap yang terhebat.
Melihatmu, mendengarmu
Kaulah yang terhebat”
Di bait terakhir, suaranya sedikit bergetar. Ia mengatup mata sejenak, menahan perasaan yang menyeruak. Namun saat matanya terbuka kembali, ia tersenyum. Bukan senyum sedih, bukan pula putus asa. Tapi senyum seseorang yang akhirnya bisa meletakkan beban lama dengan tenang.
Tepuk tangan menggema begitu lagu "Yang Terlewatkan" milik Sheila On 7 selesai dibawakan. Bara menunduk singkat, lalu menyerahkan panggung kepada band lain.
Ketika ia turun dari panggung, masih dengan napas yang belum sepenuhnya teratur, sebuah suara yang sangat ia kenal menyambutnya—hangat dan jenaka.
“Kaget banget, Pak Gitaris nyanyi.”
Bara menoleh dan mendapati Andin berdiri di sana, menyandarkan tubuhnya sedikit ke dinding galeri.
“Jadi... bidadari itu aku?” Andin tersenyum, setengah bercanda, setengah menahan sesuatu di matanya.
Bara terkekeh, mengusap tengkuknya sendiri. “Mungkin.”
Mereka berdiri di tengah keramaian kecil itu, tapi untuk sesaat, suara-suara lain seperti menghilang. Yang tersisa hanya mereka berdua. Dua orang yang pernah tumbuh di jalan yang sama, dan sekarang berdiri di ujung jalan yang berbeda.
“Terima kasih udah dengerin laguku sampai selesai,” kata Bara akhirnya.
A
Andin mengangguk. “Aku kaget... suara kamu sekarang bagus. Dulu waktu SMA, kamu nyanyi kayak orang nyari nada di kegelapan.” Tawanya ringan, tapi cepat menghilang. “Aku bersyukur kita ketemu lagi, Bar,” katanya kemudian. “Meskipun cuma sebentar. Meskipun... Nggak seperti dulu.”
Bara tak menjawab langsung. Ia berpindah berdiri di samping Andin, menatap ke arah panggung yang kini diisi suara lain.
“Kadang,” ucap Bara pelan, “hal-hal paling penting justru nggak bisa kembali seperti dulu. Tapi bukan berarti nggak berarti.”
Andin menatap langit-langit galeri. “Dulu, waktu aku pindah, aku gak sempat pamit. Itu nyesel banget. Mungkin Tuhan kasih kesempatan kita ketemu lagi, bukan untuk kembali, tapi untuk berpisah dengan layak.” Ia menoleh, menatap Bara. “Dan pameran ini... adalah perpisahan kecilku buat kamu.”
Bara menelan ludah, lalu mengangguk. “Dan lagu tadi... salam terakhirku buat kamu. Mungkin juga, penutup paling jujur dari bab pertama dalam hidupku, yang ada kamu di dalamnya.”
Andin tersenyum menggoda. “Jadi, aku cinta pertamamu, Bar?”
Bara menghela napas, pura-pura berat. “Iya... dan mungkin satu-satunya yang bikin aku rela nggak jajan di kantin tiap Kamis, demi bisa beli es lilin cokelat.”
Andin terkekeh, menyikut pelan lengannya. “Pengorbanan banget ya es lilin itu.”
Bara nyengir. “Tapi kamu tetap nggak bisa aku punya. Sedih nggak, tuh?”
Andin pura-pura mikir. “Hmm... sedih sih. Tapi lebih sedih lagi kalo kamu nyanyi lagu itu tiap kali reuni SMP.”
Mereka tertawa bersamaan. Di antara tawa itu, ada jeda kecil yang tak butuh kata-kata. Cukup sepasang mata yang saling mengerti bahwa tawa ini, meski ringan, membawa perpisahan yang manis.
Angin malam masuk dari sela pintu galeri yang terbuka. Lampu-lampu kota menyala di luar sana.
“Selamat menempuh hidup baru ya, Ndin,” ujar Bara. “Semoga kamu bahagia dengan segala yang kamu pilih.”
Andin menatapnya lama, lalu mengulurkan tangan. “Terima kasih, Bar. Untuk semuanya.”
Jabat tangan itu singkat, tapi lebih dalam dari pelukan manapun.
Malam itu, tak ada pelukan atau air mata. Hanya dua hati yang pernah saling menunggu, akhirnya belajar melepaskan dengan tenang.
*****
Catatan:
Cerpen ini adalah salah satu cerita dari kumcer berjudul PLAYLIST yang tayang di situs GWP (Gramedia Writing Project). Baru ada empat cerpen dari sepuluh cerpen yang rencana saya tulis.
 

 
 
 
 
 
 
2 komentar
Waduuh daleemm banget nih, as they said first love never dies 🤣
ReplyDeleteapalagi klo setting-nya di bandung.
makinnnn berasa romantic banget ya.
Keren mba 🥰💃 bs lanjuutt pasca andin kawin nih
Bandung memang nggak akan ada matinya terutama sebagai background dari sebuah kisah asmara Yang pastinya bisa menjadi bumbu menarik supaya ceritanya lebih meresap ke dalam jiwa. Keren nih. Lanjutkan
ReplyDelete