Akhirnya Menjadi Pendatang di Jakarta

January 08, 2022


Bismillah…


Sudah lewat 6 bulan sejak saya berstatus sebagai pendatang di kota Jakarta. Kota yang sebelumnya belum pernah saya singgahi. Kota yang sebelumnya bahkan masuk dalam daftar "big no no" untuk ditinggali. Namun nyatanya takdir membawa saya ke kota ini. Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 


Mungkin sebelum ibukotanya pindah ya, jadi sama Allah suruh ngerasain dulu gimana rasanya tinggal di Jakarta saat masih menjadi ibukota.


Kesan Tinggal di Jakarta


Jadi bagaimana rasanya tinggal di ibukota? Ternyata tidak semenyeramkan dan semegah yang saya bayangkan. Auranya hampir sama saja dengan kota-kota besar lain yang pernah saya singgahi. Mungkin berbeda di gedung-gedung tingginya, tapi gedung pencakar langit juga tidak ada di seluruh sudut kota kan? Hanya ada di wilayah tertentu.


Jalanan sekitar Monas
(Sumber: Dokumentasi pribadi)


Kesan berikutnya yang saya dapatkan adalah biaya hidup di kota ini mahal, terutama tempat tinggal. Cukup sulit mencari tempat tinggal yang sesuai keinginan dengan budget yang saya tetapkan. Selain itu harga makanan juga cukup mahal dibandingkan kota-kota lain tempat saya tinggal sebelumnya. Sebut saja Batam, kota terakhir tempat saya tinggal selama 2 tahun 9 bulan sebelum akhirnya pindah ke Jakarta.


Di Batam harga bahan makanan mentah menurut saya lebih mahal daripada di Jakarta, tapi entah kenapa harga makanan matang lebih mahal di sini. Apa mungkin biaya jasanya lebih besar? Tapi setahu saya UMR Batam juga masih lebih tinggi dibanding Jakarta. Itulah salah satu faktor yang membuat pengeluaran di ibukota lebih membengkak dibanding kota lain. Makanan. Apalagi saya belum memasak sendiri sejak pindah ke kota ini.


Untuk kemacetan untunglah saya belum pernah terjebak macet yang mengerikan seperti di cerita-cerita orang. Kalau sekedar jalanan padat saya sempat beberapa kali merasakan juga tapi tidak yang sampai kendaraan tidak bisa bergerak. Mungkin efek pandemi atau bisa juga karena saya yang jarang pergi di hari biasa selain Sabtu dan Minggu, sehingga tidak merasakan jam-jam padat kota Jakarta tercinta.


Salah satu mall di Jakarta Selatan
(Sumber: Dokumentasi pribadi)


Hiburan di kota ini juga terasa terbatas. Sebagian besar hanya berupa mall. Bagi seorang ibu yang lebih suka mengajak anak berjalan-jalan di alam terbuka daripada di mall, Jakarta jadi terasa sedikit membosankan. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Namun mungkin jika saya tinggal di Jakarta saat saya masih bujang (dan tidak sedang dilanda pandemi tentu saja), saya yakin kota ini penuh dengan kesenangan yang bisa saya nikmati bersama sahabat-sahabat saya. Sayangnya, saat ini saya sudah menjadi ibu yang entah kenapa pola pikirnya pun mulai bergeser (atau mungkin lagi-lagi ini hanya efek pandemi yang entah kapan akan berakhir).


Penginapan Front One Residence Syariah Mampang

Di kota ini saya sudah berpindah tempat tinggal sebanyak 3 kali. Hari pertama datang ke Jakarta saya menginap terlebih dahulu di sebuah hotel (sebetulnya lebih cocok disebut penginapan) yang ada di kawasan Mampang Prapatan. Namanya "Front One Residence Syariah Mampang". Entah kenapa saya memilih tempat ini. Mungkin karena terburu-buru jadi tidak sempat mencari informasi lebih jauh. Saya booking hotel ini malam hari tepat sebelum terbang ke Jakarta, yang saya jadikan pertimbangan hanya jaraknya yang dekat dengan kantor suami. Itu saja.


Area parkir dan lobi penginapan
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Sejujurnya penginapan ini agak sedikit mengecewakan. Liftnya masih dalam tahap renovasi, sehingga kami harus mengangkut koper ke lantai 2 secara manual. Sebelumnya kami minta kamar di lantai dasar, namun kamar yang tersisa di lantai itu sungguh tidak layak untuk harga yang saya bayarkan (menurut saya). Kamarnya sangat sempit. Dan ada jendela besar mengarah ke area parkir. Terbayang betapa tidak nyamannya harus tidur di kamar seperti itu. Akhirnya saya minta pindah ke kamar di lantai 2. Setidaknya kamar ini sedikit lebih besar daripada di lantai bawah, walaupun masih terasa kecil, bahkan kami kesulitan mencari tempat untuk salat. Akhirnya kami salat di depan pintu masuk, tepat di depan pintu kamar mandi. Kebayang, kan?


Foto kamar dan lorong
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Cukup dua malam saja kami menginap di penginapan tersebut. Kami pun mulai mencari tempat tinggal lagi. Sulit mencari kontrakan bulanan full furnished di sekitar kantor suami. Rata-rata menyewakan kosongan atau bayar tahunan.


Kami yang belum berencana menetap lama di Jakarta tentu tidak berani langsung menyewa untuk satu tahun. Dengan segala plus minusnya, akhirnya kami memutuskan mencari kamar kost dengan fasilitas lengkap saja.


Pertimbangan utamanya saat itu adalah Jakarta mulai masuk masa PPKM darurat level 4 karena kasus covid-19 semakin tinggi dan kami belum ada kendaraan. Jadi kami mencari tempat tinggal yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik ojol dari kantor suami.


Memang cukup nekat ya datang bekerja ke Jakarta sekeluarga tapi belum punya tempat tinggal. Tapi waktu kami datang ke Batam pun juga begitu. Menginap di hotel 3 hari sambil berkeliling mencari rumah kontrakan. Bedanya, saat di Batam hotel kami dibayar oleh perusahaan.


Kost Almuntaha Pondok Jaya


Ternyata pencarian tempat tinggal ini pun tidak mudah. Banyak kost berstatus "exclusive" yang menolak adanya anak dibawah usia 12 tahun. Padahal hanya kost semacam itulah yang menyediakan fasilitas lengkap seperti yang kami butuhkan. Akhirnya dari hasil browsing sana sini bertemulah kami dengan Kost Almuntaha yang terletak di Jalan Pondok Jaya I.


Kost Almuntaha
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Meskipun belum 100% sesuai kriteria, namun setidaknya kost tersebut cocok untuk dijadikan tempat tinggal minimal sampai 1 bulan kedepan. Sambil kami mencari-cari tempat yang lebih baik lagi. Di kost 3 lantai inilah akhirnya kami tinggal selama bulan Juli 2021, sebelum akhirnya pindah ke tempat lain di bulan berikutnya.


Tempatnya nyaman, fasilitas lengkap, pengelola ramah dan juga menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Di depan pintu masuk disediakan hand sanitizer. Pengelola juga mengenakan masker saat berinteraksi atau membersihkan kamar. Selain itu juga dilakukan disinfektasi berkala di area bersama dan koridor.


Fasilitas kamar tidur
(Sumber: Dokumentasi pribadi)


Kamar yang kami tempati di sana memiliki fasilitas berupa tempat tidur tarik berukuran 120x200 cm (berserta sprei, sarung bantal guling dan bed cover), lemari pakaian dengan cermin besar, meja dan kursi kerja, kulkas kecil, TV dengan saluran lokal, standing hanger, AC dan akses wifi gratis.


Selain itu juga terdapat kamar mandi yang cukup luas di dalam kamar dengan fasilitas closet duduk, shower, water heater, rak peralatan mandi serta gantungan baju. Setiap kamar juga dilengkapi dengan rak sepatu serta keranjang baju kotor di depan masing-masing kamar.


Keuntungan tinggal di sini adalah penghuni tidak perlu repot-repot mencari jasa laundry, karena setiap orang sudah mendapat jatah cuci setrika sekian potong per hari. Saya lupa berapa tepatnya jatah per orang, tapi yang pasti , saat kami tinggal di sana, setiap hari kami gratis mencucikan 10 potong pakaian. Bagi yang ingin mencuci sendiri juga ada mesin cuci bersama dan area jemur di roof top, tapi sepertinya mesin cucinya sudah cukup berumur.


Pemandangan dari roof top
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Selain tidak perlu memikirkan masalah laundry, penghuni juga tidak perlu terlalu repot membersihkan kamar karena setiap minggu semua kamar mendapatkan jasa pembersihan gratis. Mulai dari mengganti sprei, sarung bantal guling dan bed cover, menyapu dan mengepel lantai, hingga membersihkan kamar mandi. Enak kan?


Di kost ini disediakan dispenser air pada setiap lantainya. Jadi penghuni bisa mengambil air minum sepuasnya. Ada pula dapur bersama dengan peralatan yang meski tidak baru tapi cukup lengkap. Juga area parkir yang luas dan ruang tamu dengan TV. Sayangnya, ruang tamunya terkesan asal ada hehehe...


Ruang tamu, area parkir, loker pakaian, dapur
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Salah satu kekurangan kost ini adalah tidak semua kamar ada jendela keluar ruangan. Sebagian besar jendela mengarah ke koridor sehingga tidak bisa menikmati pemandangan area luar. Meskipun ada juga kamar yang memiliki jendela ke luar dengan harga yang lebih mahal.


Koridor kost
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Terlepas dari kekurangan itu, tempat ini enak untuk ditinggali. Sayangnya harga sewanya terlalu tinggi bagi kami. Saat itu kami dikenakan biaya sewa 3,8 juta untuk satu bulan. Memang untuk sewa kamar ini disesuaikan juga dengan jumlah penghuninya. Sewa untuk 1 orang, 2 orang dan 3 orang jelas berbeda.


Di bulan kedua, kami pindah ke tempat lain yang menurut saya lebih nyaman dan lebih murah. Untuk tempat yang kedua, karena saya tinggal cukup lama di sana, akan saya ceritakan di tulisan berikutnya, ya. Terima kasih sudah membaca. Tak bosan-bosannya saya selipkan doa, semoga kita semua sehat dan bahagia, serta pandemi lekas berlalu. Aamiin...


Jakarta, 07 Januari 2022

22.57 WIB

You Might Also Like

19 komentar

  1. Jakarta memang tampak "seram" ya mba... apalagi klo emang jarang atau bahkan blum pernah ke sana.
    aku dulu juga sering ditakut²in ibuku...pokoke usahakan jangan kerja di Jkt🤣🤣🤣 kalo dipikir² lagi, yha agak kocakkk tapi yha sudahlaahhh

    ReplyDelete
  2. Bagi yang tidak punya waktu main main ke luar jendela, pasti kebiasaannya langsung masuk kamar saja setelah datang dari tempat bekerja karena Jakarta memang sepadat itu ya
    Lumayan enak kalau ada fasilitas pembersihan kamar jadi tidak perlau banget mengusahakan membersihkan kasur deh

    ReplyDelete
  3. Kyknya masih lama kok mbak IKN-nya jadi, so Jakarta masih akan lama jadi DKI-nya hihihi :D

    Hihihi jadi teringat awal2 datang ke Jakarta juga. Tetapi karena kota asalku Surabaya juga mayan besar jadi untuk vibes kotanya gak terlalu kaget. Cuma aku setres aja sama transumnya sekitar 14 tahun lalu masih gak kyk sekarang. Ditambah sepupuku pernah kecelakaan jatuh dari bus gara2 drivernya gak mau nungguin sepupuku sampai turun dengan benar.
    Awal2 aku ke mana2 naik bluebird (belum ada ojol) krn takut naik kendaraan sendiri, padahal di Sby aku ke mana2 naik kendaraan sendiri.
    Sekarang makin ke sini bisa manfaatin transum dengan baik dan Jakarta pun transumnya makin ok. Jadi kalau balik Sby aku males haha :P
    Untuk rumah alhamdulillah, aku tu awal ngontrak dapat rumah kontrakan baru gitu walau ukurannya mungil. Pas anak kedua lahir juga dapat kontrakan dua kamar dengan lingkungan ok. Keduanya sama2 tertutup jd penguninya cuma yg sewa di situ aja macam cluster kecil.

    Tapi emang bener sih mbak, pertimbangan cari tempat tinggal awal2 di Jkt tu krn deket kantor suami atau minimal waktu itu ada bus yang ngangkut. Pas udah ada rumah sendiri mikirnya pokoknya dekat sarana transum walau jauhan dikit dari kantor haha.

    Tapi aku baru tahu dari postingamu ini ternyata ada kos yang bisa menerima keluarga gitu yaa. Kalau boleh saran sih mending yang kontrakan keluarga tapi tertutup gitu kek cluster2an atau sekalian di apartemen mbak. Kalau gak deket kantor , asal deket transum tkyk TJ atau KRL insyaAllah bisa dapat harga sewa lebih miring dan lingkungannya lebih baik krn bisa jadi anak di situ dapat temen krn penghuninya juga keluarga2 yang usianya masih relatif sama :D

    ReplyDelete
  4. Halo selamat datang di Jakarta Kak. Dulu aku juga berpikir Jakarta adlah kota yang nggak pengen aku tuju sebagai tempat tinggal tapi nasib berkata lain, nasib berkata aku harus tinggal di kota bising ini. Tapi aku udah nemu asiknya Jakarta, kalau di bilang membosankan justru bagiku menantang, kaya nggak ada habisnya gitu. Selalu saja ada sudut tempat baru yang belum aku ketahui, selalu saja ada hiburan baru, tempat nongkrong yang jumlahnya banyak dan tak habis-habis. Jakarta juga punya perpus perpus hebat yang mungkin tak dipunyai kota lain. Anyway selamat menikmati tinggal di kota baru Kak, semoga makin lama bisa menemukan nikmatnya tinggal di Jakarta :)

    ReplyDelete
  5. ternyata tempat kost pun mirip hotel ya, ketika ada sesuatu yang lebih misalnya jendela dengan pemandangan keluar, dikenakan biaya lebih tinggi. Maaf aku kurang paham kalau kost begini, apakah pas masuk diminta salinan surat identitas seperti KTP? Jadi mereka tahu berapa orang yang akan tinggal di sana?

    ReplyDelete
  6. Ceritanya seru banget! Jakarta emang punya kesan yang beda-beda buat tiap orang ya. Apalagi pas baru pindah, pasti banyak banget tantangannya. Salut deh sama perjuangannya bisa cari tempat tinggal yang cocok, apalagi dengan segala keterbatasan. Ditunggu banget nih cerita lanjutannya tentang tempat tinggal yang baru! Semoga betah terus di Jakarta

    ReplyDelete
  7. Hai Kak Asri selamat datang di Jakarta yang bikin ceria hehe.
    Dibilang asik, ya seru memang tinggal di sini karena transportasi-nya beragam. Sebaliknya yang gak asiknya adalah rush hour-nya sih 😁

    ReplyDelete
  8. Ooh Mbak Astri di Jakarta to? Maaf ya kirain di Bandung soalnya pernah cerita tentang pengalaman lahiran di Bandung.
    Mengenai harga makanan memang lebih mihil ya. Apalagi kalau dibandingin dengan harga-harga di Malang, jauh banget.

    ReplyDelete
  9. Oalaah ini cerita 2022 toh mba. Eh, skr mba asri memang di JKT kan yaa?

    Kita samaaaa, awal2 pas kuliah, aku ga kepikir bakal tinggal di JKT. Amit2 ga mau hahahahahha

    Tapi mungkin Krn benci, trus memang ada sesuatu terjadi saat itu, yg akhirnya bikin aku harus terbang ke jakarta dari Malaysia. Untungnya ga lama cari kerjaan. Bisa dibilang langsung dapat, jadi aku pun pindah dari rumah sepupu, utk ngekos.

    Cuma setelah dinikmati, jakarta oke kok 😄😄. Mungkin Krn ini kota besar, jadi segala fasilitas yg aku butuhin ada. Dan juga buatku yg rutin traveling, salah satu positifnya, bandara sini udah menghubungkan destinasi kemana2. Agak susah pasti kalau aku tinggal di Medan, yg rute penerbangan internasional nya ga banyak. Mentok2 harus lewat Malaysia.

    So, okelaah. Tapi soal macet, aku udah ngerasain pas terjebak 4 jam di taxi dari PIK ke Rawamangun mba 🤣🤣🤣🤣. Ga bisa turun dari taxi Krn di atas jalan tol. Hahahahha. Banjir besar waktu itu. Gila yg aku bayar, untung direimburse kantor hahahahaha

    Tapi setelah ngerasain ini semua, aku malah ga pengin pindah dr JKT. Ada rumah di solo, cuma kok ya, enak jakarta. Solo itu asyik buat liburan aja sih.

    ReplyDelete
  10. Sebelum selesai membaca, aku sempat berpikir wuaah di Jakarta toh, kali bisa bersua eh ternyata setelah di cek lagi tulisan ini di tahun 2022.

    Jakarta memang selalu memiliki wajah yang berbeda, tergantung waktunya. Terlebih pandemi, wajah Jakarta sangatlah berbeda. Karena hampir pergerakan tubuhnya sedang rehat. Tapi jadi pengalaman yang seru ya mba, pernah tinggal di kota yang konon memiliki banyak tuntutan he he he.

    Tetapi buatku rasanya di tahun itu, ritme Jakarta lagi kendor, seperti suasana jalan yang dilalui tak sepadat pada waktu-waktu normal. Soal tempat tinggal ya begitulah, kebayang mbanya pindah berapa kali dan tentu itu membawa kisah tersendiri ya.

    ReplyDelete
  11. Sekarang masih tinggal di Jakarta kah mbak? Welcome to the club ya mbak. Saya masih enggan untuk tinggal di sana dengan segala hiruk pikuknya
    Saya masih memilih untuk tinggal di Sidoarjo aja deh

    ReplyDelete
  12. Sebagai yang pernah ngalami tinggal di Jakarta hampir lima tahun lamanya, aku setuju kalau masakan jadi di Jakarta harganya memang rada mahal. Apalagi di area perkantoran, susah cari makanan jadi yang terjangkau.

    Akan tetapi, aku tim bekal dan masak di rumah. Belanja mingguan, ku hitung biaya belanja mingguan ini lumayan agak terjangkau. Cuma emang jadi lumayan capek ya, food preparation, dkk.

    Nah, kost di Jakarta buat yang udah berkeluarga emang agak susah cari yang murah. Pasti juta juta an. But aku merasa Kost Almuntaha ini emang fasilitasnya mumpuni banget ya. Cuma emang secara harga aku pun angkat tangan sih.

    Kalau lagi tidak pandemi, Jakarta punya banyak taman terbuka hijau yang nyaman dan mumpuni serta ramah anak juga mba.

    ReplyDelete
  13. saya merantau ke Jakarta sejek 1998, Mbak. Dan walau kota jakarta macet, tapi sejujurnya sya suka tinggal di Jakarta. ritme hidup bergeraak cepat, jadi saya ikut semangat juga. kalau ada sesuatu atau hal baru, pesti di jakarta yang merasakan dulu. Termasuk banyak artisnya hahaha. Apalagi sekarang ke mana enak, karena trasposrtasi umum lengkap, Dari KRl, Transjakarta, MRT, dan LRT.

    ReplyDelete
  14. Kereen ka Aci perjuangannya untuk mencari kos di Jakarta.
    Aku yakin, pasti gak mudah.. karena Jakarta memang ramai dan terkenal harganya beragam, bisa menyesuaikan budget.
    Tapii untuk mendapatkan fasilitas yang oke dan bersih, pastinya ada kriteria kosan yes or no.

    Meski terkesan simple, tapi aku percaya kalau pemilihannya se-njelimet ittuu...
    Apalagi yang ada kaitannya sama anak.

    ReplyDelete
  15. Wah baca ini jadi inget dulu pernah merantau juga di Jakarta
    Dulu aku juga tinggal di Jaksel mbak
    Di Mampang Prapatan,
    Aku pun dulu susah cari kos
    Ya selain cari yg murah, cari yg kostnya nggak campur
    Kebayang kan, susahnya

    ReplyDelete
  16. Apa sekarang masih tinggal di Jakarta mba Asri? Sudah menemukan rumah idamannya kah? Saya tidak punya pengalaman tinggal di Jakarta tapi sepertinya di Jakarta kalau untuk kos-kos atau kontrakan banyak pilihan yaa, Lebih enak tetap tinggal di kontrakan yang bentuknya rumah aja gitu satu rumah dikontrakkin. Kalau misal stay di Jakarta menetap sepertinya enak ambil KPR mungkin ya mba ASri.

    ReplyDelete
  17. Iya, Jakarta agak menakutkan bagi pendatang, aku sempat ngekos dan kerja di Jakarta dua tahun kadang merasa kesepian, padahal rumahku di Bogor hihi memang harus ikutan kegiatan dan jalani hobi biar happy..

    ReplyDelete
  18. Setelah baca beberapa paragraf, baru ngeh ini tulisan lama wkwk. Pantes kok sebut-sebut pandemi terus, baru mau nyelametin udah jadi pendatang di Jakarta haha.

    Tapi aku suka kota ini! Berbeda dengan mbak Asri yang lebih suka alam, aku lebih suka wisata urban. Jadi, buatku kota seperti Jakarta ini adalah sebuah PLAYGROUND BESAR! Bisa wara-wiri naik MRT/LRT/KRL bahkan Whoosh, bisa hunting city view, bisa cobain cafe-cafe, dsb.

    Aduh, buatku tempat tinggal itu harus ada akses jendela ke luar. Aku nggak ada fobia dengan tempat sempit, tapi suka dengan tempat yang kaya sirkulasi udara & cahaya alami.

    ReplyDelete
  19. Aku ngalamin hampir dua tahun jadi pekerja di Jakarta Mbaaa.. dari awalnya nyetir sendiri, nebeng ipar, nyoba commuter life, sampe akhirnya ngekos di deket kantor. Kalau dipikir-pikir, memang cape sih hidup di Jakarta, apalagi kondisi gaji UMR.

    Tapi sebagai pengalaman, wawasan, juga pendewasaan, Ibu kota tuh cocok banget sih.

    ReplyDelete