Drama Hamil Kembar di Usia 30-an

December 25, 2023



Selama hamil kemarin, saya bertekad bahwa setelah melahirkan, saya akan menuliskan pengalaman tentang hamil kembar yang sungguh tak terlupakan. Ternyata sulit menemukan waktu untuk fokus menulis dengan segala kesibukan bersama bayi. Akhirnya baru sekarang saya berhasil menemukan momennya.

Memang sudah lewat hampir satu tahun sejak saya melahirkan, tapi insyaallah saya belum lupa bagaimana rasanya. Karena hamil kembar di usia 34-35 tahun itu sungguh perjuangan. Tidak percaya? Silahkan dicoba (dikira hamil bisa coba-coba).

Hamil kedua ini sangat berbeda rasanya dengan hamil pertama. Entah karena yang pertama tunggal dan yang kedua kembar atau karena faktor usia. Bisa jadi perpaduan antara keduanya yang membuat pengalaman kedua ini terasa lebih “drama”, tapi lebih minim stres.

Jadi bagaimana rasanya menjalani hamil kembar dengan segala dramanya di usia yang tidak muda lagi? Yuk, simak cerita saya sampai selesai, ya.

Hamil lagi? Saya terkejut!

Saya mengetahui bahwa saya hamil lagi beberapa hari sebelum mudik usai Idul Fitri 2022. Tepatnya pada tanggal 2 Juni 2022. Hari itu saya melakukan tes kehamilan karena sudah terlambat haid 5 hari dan badan terasa berbeda. Benar saja, setelah tes, dua garis merah muncul di sana.

Baca juga: Mudik Berdua dengan Anak Saat Hamil Muda

Tentu saja yang pertama saya rasakan adalah terkejut! Hamil? Di usia 34 tahun? Disaat saya sudah bertekad ingin punya satu anak saja? Disaat saya masih merasakan semua trauma kehamilan pertama? Disaat saya masih merasa menjadi ibu yang buruk dan belum bisa memberikan yang terbaik bagi anak saya satu-satunya? Really?

Perasaan berikutnya yang menyusul adalah “takut”. Akankah saya dan suami bisa melalui kehamilan ini lebih baik daripada yang dulu? Apakah secara keuangan kami mampu merawat dua anak? Bagaimana dengan rencana-rencana yang sudah kami susun? Bisakah saya membagi waktu antara anak pertama dan adiknya? Akankah saya mengalami baby blues lagi setelah melahirkan? Dan masih banyak lagi ketakutan-ketakutan lain yang muncul dipikiran saya.

Setelah perasaan-perasaan negatif mulai lenyap, terutama setelah saya bertemu ibu, penerimaan perlahan memasuki hati saya. Euforia kebahagiaan akan tumbuhnya makhluk kecil di dalam rahim saya semakin terasa. Apalagi dengan dukungan dari suami, anak pertama, serta semua keluarga besar.

Ternyata kejutan tidak berhenti sampai di situ. Pada kunjungan kedua ke dokter kandungan, saya kembali mendapatkan berita yang tak terduga. Saat USG saya sudah merasa janggal karena entah kenapa gambar yang tampak di layar tidak seperti saat dulu anak pertama. Benar saja, setelah memperhatikan layar selama beberapa menit, dokter memberitahu bahwa saya hamil kembar. Wow! Lagi-lagi saya diselimuti perasaan terkejut, takut dan bahagia yang silih berganti.

Hasil USG Hamil Kembar
Sumber: Dokumentasi Pribadi


Trimester Pertama: Mual, Batuk dan Flek

Memasuki minggu ke-8 mual yang saya rasakan semakin menjadi. Saya muntah minimal 3x sehari, sekitar pukul 7 pagi, 12 siang dan 6 sore. Hidung saya pun semakin sensitif. Saya tidak bisa mencium bau soto, bakso dan beberapa makanan lainnya. Bahkan saya tidak tahan bau mie instan yang biasanya begitu menggoda itu. Sungguh sangat menyiksa. Berat badan saya pun sempat turun di minggu-minggu awal ini.

Trimester pertama selain mual dan muntah saya juga mengalami dua kali flek (keluar darah dari jalan lahir) yang membuat saya harus banyak istirahat dan tidak boleh beraktivitas berat. Apalagi kehamilan kembar termasuk kehamilan beresiko tinggi. Terutama di usia saya yang sudah tidak muda lagi.

Belum cukup sampai di sana “cobaan” yang harus saya tanggung, di bulan-bulan ini saya sekeluarga juga beberapa kali sakit secara bergantian. Batuk, pilek dan demam silih berganti. Ditambah perut yang mulai membesar sehingga dada terasa sesak setiap kali duduk dan gejala ambeien yang mulai muncul akibat tekanan perut. Belum lagi nyeri di perut bawah. Entah kenapa di kehamilan kedua ini nyeri perut bawah sudah dimulai sejak trimester pertama. Padahal pada kehamilan sebelumnya, nyeri perut bawah baru saya rasakan di trimester terakhir.

Trimester Kedua: How Could This Happen to Me?

Trimester ini mual-mual sudah mulai menghilang. Namun sebagai gantinya saya batuk-batuk parah. Tenggorokan rasanya sangat gatal. Terutama di malam hari. Jadi saya tetap muntah-muntah meskipun mual sudah tidak ada. Bahkan muntahnya lebih parah daripada muntah akibat mual. Seringkali saya tidak berhenti muntah sampai perut saya kosong.

Berbagai “ramuan” sudah coba saya minum, dari obat pabrik resep dokter, jahe, sampai jus bawang putih tunggal. Tapi batuk saya tetap tidak membaik. Hingga menjelang akhir trimester 2 baru batuknya mulai berkurang.

Satu masalah hilang, muncul masalah berikutnya. Pada minggu ke-24, sembilan hari sebelum ulang tahun saya yang ke-35, saat pertama kali berkunjung ke dokter fetomaternal, saya harus menghadapi kenyataan bahwa salah satu janin saya mengalami Congenital Diaphragmatic Hernia (CDH).

Ilustrasi Hernia Diafragma
Sumber: Instagram @mytinyhero

Congenital Diaphragmatic Hernia (CDH) atau yang dikenal dengan hernia diafragma adalah kelainan pada diafragma berupa celah yang menyebabkan organ perut masuk ke rongga dada. Besar celah ini bisa berbeda-beda pada tiap kasus. Karena itu, tingkat keparahan dan komplikasinya pun tidak bisa disamakan.

Saat tahu bahwa salah satu janin di dalam perut saya didiagnosa mengalami CDH rasanya "nano nano". Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Apalagi setelah mencari tahu lebih jauh. Sedih, takut, kasihan, kecewa, marah dan berbagai emosi negatif lainnya berkecamuk di dalam dada. How Could This Happen to Me? Begitulah yang saya pikirkan.

Tak jarang saya menyalahkan diri sendiri. Apa yang salah? Usaha apa yang kurang saya lakukan? Dimana salahnya? Kenapa semua ini bisa terjadi? Apakah karena muntah-muntah? Atau batuk-batuk? Kenapa semua jadi begini? Bahkan terkadang saya menyangkal apa yang terjadi. Mencoba berpikir bahwa semua itu tidak nyata.

Namun tentu saja semua itu nyata. Dan saya harus berdamai dengan kenyataan itu. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain terus berdoa, memantau perkembangan janin dan menunggu sampai mereka lahir untuk dilakukan tindakan. Apalagi saya hamil kembar. Kami juga harus memastikan janin yang normal bisa lahir dengan sehat dan selamat.

Trimester Ketiga: Berharap Keajaiban

Setelah beberapa minggu mengalami gejolak emosi negatif. Akhirnya di trimester ketiga ini saya mulai sekuat tenaga berpikir positif. Karena tidak ada lagi usaha yang bisa saya lakukan di dunia, saya mencoba untuk fokus pada “jalur langit”. Siapa tahu masih ada keajaiban bagi kami. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah telah berkehendak, bukan?

Selain itu kesibukan mempersiapkan segala sesuatu untuk kelahiran juga mulai mengalihkan pikiran saya dari hal-hal negatif. Belanja perlengkapan bayi hingga mencari informasi tentang rumah sakit untuk melahirkan menjadi agenda saya sehari-hari.

Beruntung dokter keempat yang saya kunjungi pernah menangani kasus yang sama. Dokter tersebut menyarankan saya melahirkan di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung (RSHS). Di sana peralatan lebih lengkap dibanding rumah sakit lainnya. Selain itu saya juga disarankan memakai BPJS karena untuk bayi yang mengalami CDH pasti membutuhkan perawatan NICU dan menjalani operasi. Jika menggunakan biaya pribadi bisa memakan biaya hingga ratusan juta. Belum lagi saya juga kemungkinan besar harus melahirkan melalui operasi caesar demi keselamatan kedua bayi.

Dengan berbekal surat rujukan dari dokter dan hasil USG fetomaternal, saya mengurus rujukan ke faskes 1 dan 2 hingga akhirnya bisa kontrol kehamilan di RSHS sejak usia kehamilan 32 minggu (Untuk proses mengurus BPJS akan saya ceritakan tersendiri).

Poli Fetomaternal RSHS
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pemeriksaan rutin ke RSHS cukup menyita waktu karena hanya bisa datang di hari kerja. Suami harus izin dari kantor untuk menemani saya ke rumah sakit dari pagi hingga sore. Anak saya juga harus izin tidak sekolah karena tidak ada yang mengantar jemput serta menemani di rumah. Belum lagi larangan untuk anak-anak yang sehat masuk ke gedung tempat saya periksa, sehingga sebelum menuju RSHS saya harus menitipkan anak ke rumah neneknya terlebih dahulu.

Akan tetapi semua tetap ada hikmahnya. Saya bisa menikmati momen berdua dengan suami meskipun hanya ke rumah sakit dan makan siang di warung padang. Anak saya juga belajar “lepas” dari saya dan suami untuk waktu yang lebih lama daripada sekolah. Tidak mudah, tapi dia bisa.

Trimester 3 memang lebih sedikit “drama” yang harus saya hadapi. Tantangan fisik terberat di trimester itu adalah perut bawah yang semakin nyeri sampai terasa di paha kiri sehingga terkadang membuat saya berjalan pincang. Selain itu keinginan untuk buang air kecil yang semakin meningkat juga ambeien yang bertambah sakit juga membuat saya sulit tidur, terutama di malam hari.

Ada satu hal yang tidak biasa yang saya alami di trimester 3 terkait masalah gigi. Sekitar minggu ke-33 tiba-tiba gigi saya terasa ngilu semua. Seluruh mulut. Dua gigi depan saya pun goyang padahal sebelumnya baik-baik saja. Saya sampai memeriksakan diri ke dokter gigi dan ternyata hal itu biasa terjadi pada ibu hamil. Untunglah sakit gigi itu hanya berlangsung satu hari dan tidak kambuh lagi sampai sekarang. 

Begitulah pengalaman hamil kembar yang saya alami selama 9 bulan di tahun 2022. Alhamdulillah, semua bisa dilewati dengan baik berkat support system yang solid.

Untuk cerita melahirkan dan informasi dokter serta rumah sakit yang saya kunjungi akan saya ceritakan dalam artikel lainnya.


Bandung, 25 Desember 2023

Pukul 19.35 WIB

Cuaca hujan



You Might Also Like

0 komentar