Melahirkan anak kembar bukan hanya soal dua tangisan pertama yang terdengar hampir bersamaan, tetapi juga tentang dua kali lipat kekhawatiran, harapan, dan perjuangan yang harus dijalani. Saya sudah membagikan kisah awal kelahiran si kembar dalam tulisan berjudul Cerita Melahirkan Si Kembar di RSHS Bandung (Bagian 1) yang menceritakan tentang persiapan persalinan hingga hari kedua saya di rumah sakit. Namun, cerita belum berhenti sampai di sana.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya. Di bagian ini, saya ingin berbagi pengalaman selama hari ketiga hingga kelima di rumah sakit. Masa-masa yang tak kalah menguras emosi. Sakitnya proses pemulihan, harapan yang digantungkan setinggi langit, doa yang terus-menerus dipanjatkan, juga perasaan yang terkadang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Seperti apa kisahnya? Yuk, baca sampai akhir.
Rabu, 18 Januari 2023 (Proses Pemulihan)
Jika setelah melahirkan si sulung saya merasa kekurangan tidur, berbeda halnya dengan pasca kelahiran kedua adiknya. Kali ini, saya justru tidur sepuasnya karena tidak diizinkan bangun dari tempat tidur selama 24 jam. Bahkan untuk duduk pun belum diperbolehkan. Katanya, itu berkaitan dengan efek bius spinal yang digunakan saat operasi.
Tentu saja saya mematuhinya, karena tubuh saya memang belum sanggup bergerak. Saya hanya bisa berbaring telentang sepanjang hari. Posisi kepala tempat tidur hanya sedikit dinaikkan saat makan. Selain itu, saya hanya bergerak ketika diseka oleh perawat pada pagi dan sore hari. Saya dipaksa untuk miring agar mereka bisa mengganti popok, baju, dan sprei. Rasanya, perut seperti disayat-sayat setiap kali bergerak.
Tapi yang membuat saya kagum, para perawat bisa mengganti sprei meskipun pasien masih terbaring di atas kasur. Saya benar-benar salut dengan keterampilan mereka.
Saya tidak tahu, apakah di kelas satu juga akan mendapatkan perawatan seperti ini setiap pagi dan sore, atau justru harus mengurus diri sendiri dengan bantuan keluarga.
Baca juga: Mudik Berdua dengan Anak Saat Hamil Muda
Pasca operasi, saya masih diminta menggunakan popok dewasa untuk menampung darah nifas, serta masih menggunakan kateter untuk buang air kecil. Ternyata, saat memakai kateter, kita tidak merasakan dorongan untuk buang air kecil.
Dalam hal ini, saya merasa cukup beruntung karena pemasangan kateter dilakukan setelah saya dibius di ruang operasi, sehingga tidak terasa sakit. Beberapa orang sempat bercerita bahwa mereka dipasangi kateter sebelum masuk ruang operasi, dan katanya, rasanya sangat tidak nyaman bahkan menyakitkan.
Hari itu saya habiskan dengan makan, tidur, bermain ponsel, serta belajar duduk dan miring. Saya tidak menyangka bahwa hanya untuk miring dan duduk saja rasanya bisa sesakit itu. Akibatnya, saya belum berhasil memompa ASI dan harus merelakan si bungsu yang berada di ruang Anthurium minum susu formula terlebih dahulu. Sementara itu, si tengah yang dirawat di NICU masih dipuasakan karena keesokan harinya akan menjalani operasi.
Saya ingin sekali bertemu dengan mereka, tapi saya belum sanggup untuk menghampiri, dan mereka pun tidak boleh dibawa ke ruangan saya. Si bungsu baru saya lihat melalui fotonya, sedangkan si tengah, saya bahkan belum tahu seperti apa wajahnya karena belum ada dokumentasi apa pun.
![]() |
Foto Pertama Si Bungsu (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Di ruang operasi pun saya hanya sempat melihat mereka sekilas, samar-samar di tengah kerumunan dokter dan perawat yang langsung melakukan tindakan begitu bayi-bayi keluar dari perut. Apalagi saat itu saya tidak mengenakan kacamata dan tubuh saya menggigil hebat.
Rasanya sungguh aneh. Saya sudah memiliki tiga anak, tapi tidak bisa menemui satu pun dari mereka. Dua sedang dirawat, sementara satu lagi berada di rumah neneknya dan tidak diizinkan berkunjung. Saat itu, beberapa gedung di RSHS memang menerapkan aturan bahwa anak-anak di bawah usia 14 tahun tidak diperbolehkan masuk, kecuali jika mereka adalah pasien.
Suami dan Ibu pun belum bisa mengunjungi si tengah karena setiap kali jam kunjungan, ia sedang dalam penanganan dokter. Semua ini membuat saya terus-menerus merasa cemas dan deg-degan memikirkan kondisinya.
Sepanjang hari, suami sibuk mengurus administrasi BPJS untuk kedua bayi kami. BPJS harus segera aktif sebelum 24 jam agar seluruh biaya perawatan bisa ditanggung. Saat suami pergi, saya ditemani oleh Ibu. Namun, ada kalanya panggilan dari NICU dan ruang Anthurium datang bersamaan, sehingga Ibu dan suami harus pergi dan meninggalkan saya sendirian di kamar.
Seperti siang itu, ketika seorang kenalan yang juga seorang dokter gigi datang menjenguk. Saat itu saya sedang tertidur sendirian dan baru terbangun ketika beliau mengetuk pintu. Saya tidak tahu seperti apa tampang saya saat itu. Saya yakin tidak karuan.
Baca juga: Drama Hamil Kembar di Usia 30-an
Dokter gigi itu bukan sekadar tamu biasa. Ia juga seorang ibu dari anak dengan kondisi CDH. Kami berkenalan lewat Instagram saat masih hamil, setelah tanpa sengaja saya menemukan akunnya. Sebelumnya, saya memang sempat mendengar kisahnya dari dokter obgyn saya.
Setelah perkenalan di Instagram, saya diminta menghubunginya langsung melalui WhatsApp. Sejak saat itu, kami mulai saling berbagi cerita. Darinya, saya mendapatkan banyak masukan, dukungan, dan semangat. Kehadirannya menjadi salah satu hal yang menguatkan saya menerima segala sesuatu terkait si tengah.
Sore harinya, saya juga dikunjungi oleh adik Papa mertua dan istrinya. Kebetulan rumah mereka memang tidak jauh dari RSHS. Setelah kunjungan itu, suami saya masih harus bolak-balik ke PMI untuk mengurus persediaan darah menjelang operasi yang akan dijalani keesokan harinya. Hari itu, semua bergerak. Semua berjuang. Semua menahan lelah dalam diam.
Kamis, 19 Januari 2023 (Si Bungsu Pulang)
Pagi-pagi, saya kembali dihubungi oleh petugas dari ruang Anthurium. Mereka menanyakan apakah saya sudah bisa mulai memerah ASI. Selain itu, mereka juga memberikan informasi seputar menyusui, cara memerah ASI, penyimpanan ASIP, dan hal-hal terkait lainnya.
Untungnya, pagi itu kondisi saya sudah membaik. Saya sudah bisa duduk tegak dan berhasil memerah ASI, meskipun jumlahnya belum banyak. Suami saya lalu mengantarkan dua kantong ASIP ke ruang Anthurium. Setidaknya, salah satu dari bayi kami bisa mulai mencicipi ASIP.
![]() |
ASI Perah Pertama (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Hari itu, kateter saya dilepas. Mau tidak mau, saya harus mulai belajar berjalan. Pertama kali turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi, saya dibantu oleh suami dan Ibu. Rasanya sangat sakit. Setiap langkah terasa berat. Saya masih berjalan dengan membungkuk, dan sesekali napas terasa sesak karena menahan nyeri yang luar biasa.
Untungnya, saya berada di kamar pribadi. Saya tidak bisa membayangkan jika masih berada di kamar kelas satu, yang harus berbagi ruang dan kamar mandi dengan orang lain. Pasti akan terasa jauh lebih repot dan memalukan.
Oh ya, operasi si tengah ditunda satu hari karena kondisinya belum stabil. Mendengar hal itu, perasaan saya benar-benar campur aduk. Di satu sisi, saya tahu tim medis pasti mempertimbangkan yang terbaik, tapi di sisi lain rasa cemas dan khawatir tak bisa dihindari.
Sore harinya, saya kembali mendapat kabar yang mengejutkan. Si bungsu yang dirawat di ruang Anthurium harus pulang hari itu juga. Keputusan itu terasa sangat mendadak dan membuat saya kaget. Saya sempat bertanya apakah mungkin bayi tersebut bisa menginap semalam di kamar saya, karena saya sendiri baru boleh pulang keesokan harinya. Namun, permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena Paviliun Parahyangan bukanlah ruang perawatan bayi, dan anak-anak di bawah usia 14 tahun memang tidak diizinkan masuk ke area tersebut.
Saya sempat terpikir untuk meminta Ibu membawa pulang si bungsu. Tapi kemudian saya menyadari, siapa yang akan menemani saya di rumah sakit saat suami harus mengurus berbagai keperluan si tengah, terutama saat operasi besok? Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, akhirnya kami memutuskan agar si bungsu pulang ke rumah Mama saja.
Suami pun menelepon Mama dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Tak lama kemudian Mama datang ditemani oleh istri adik ipar dan keponakan yang masih balita. Karena anak-anak tidak diperbolehkan masuk, hanya Mama yang masuk ke ruang perawatan.
Kami sempat kebingungan soal susu yang akan diminum si bungsu selama di rumah Mama. ASIP saya hanya tersisa satu kantong dan jelas tidak cukup untuk semalaman. Akhirnya, kami memutuskan untuk memberinya susu formula, seperti yang telah ia konsumsi sejak awal. Suami pun menanyakan ke ruang perawatan mengenai jenis susu yang digunakan.
![]() |
Pertama kali si bungsu keluar dari rumah sakit (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Sore itu, Mama pulang lebih dulu bersama si bungsu, sementara suami menyusul kemudian setelah membeli susu formula. Saya tetap tinggal di rumah sakit dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa lega karena si bungsu sudah diizinkan pulang, tetapi juga muncul kegelisahan memikirkan dua anak saya yang kini berada di rumah Mama. Belum lagi perasaan cemas menghadapi operasi yang akan dijalani si tengah keesokan harinya.
Saya hanya bisa berdoa, semoga apa pun yang terjadi adalah yang terbaik dari Allah, dan kami semua diberikan kekuatan serta kesehatan untuk menjalaninya.
Jumat, 20 Januari 2023 (Operasi Pertama dan Kepulangan Saya)
Hari itu saya sudah diperbolehkan pulang. Pagi-pagi luka bekas operasi saya diperiksa dan diperban ulang. Setelah itu, saya sarapan seperti biasa. Selama dirawat, saya mendapat tiga kali makan dan dua kali snack setiap hari. Bahkan, tiga hari lalu setelah operasi, kami juga menerima parsel buah yang ditujukan untuk pendamping pasien.
Setelah sarapan, saya hanya berdiam di kamar bersama Ibu. Sementara itu, suami sudah mendapat panggilan untuk mengurus administrasi si tengahi yang akan menjalani operasi pagi itu. Tak lama kemudian, Ibu pun ikut menyusul ke ruang operasi karena hari itu adalah hari Jumat. Siapa tahu operasinya berlangsung hingga melewati waktu salat Jumat.
Saya pun sendirian di dalam kamar. Untungnya, kondisi saya sudah cukup membaik. Saya sudah bisa turun dari tempat tidur dan ke kamar mandi sendiri, meskipun masih tertatih.
Sendirian di kamar membuat saya merasa benar-benar tidak tenang. Hati saya gelisah, pikiran saya penuh dengan ketakutan dan kesedihan. Bayi saya yang baru lahir, yang belum sempat saya peluk dan pandang wajahnya dengan utuh, harus menjalani operasi di usia yang baru tiga hari. Rasanya hati saya hancur.
Sore sebelumnya, saya berniat menjenguknya di NICU. Namun, petugas menyampaikan bahwa kondisinya belum cukup stabil sehingga belum boleh dijenguk. Saya hanya bisa pasrah dan menahan semua perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Siang itu saya menangis sendirian sambil terus melantunkan doa-doa. Beruntung saya memiliki sahabat-sahabat yang setia memberikan dukungan dan penghiburan di hari-hari yang berat itu, meskipun hanya lewat WhatsApp. TV di kamar juga turut meramaikan suasana meskipun acaranya tidak menarik.
![]() |
Ditemani TV Biar Tidak Sepi (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Operasi berlangsung sekitar tiga jam dan alhamdulillah berjalan lancar. Namun, kami masih harus menunggu masa pemulihan. Apakah ia akan bertahan atau tidak, belum ada yang tahu. Doa-doa pun terus saya panjatkan kepada Allah, memohon agar ia diberikan kesembuhan.
Usai operasi, suami mengurus administrasi kepulangan saya. Ya, hari ini saya harus pulang, meninggalkan bayi saya yang baru saja menjalani operasi. Tentu saja terasa berat. Namun saya harus kembali ke rumah karena ada si sulung dan si bungsu yang sedang menanti untuk bertemu dengan saya.
Sore itu, setelah seluruh administrasi beres, saya dijemput oleh petugas dengan kursi roda dan diantar hingga ke lobi. Sungguh, saya ingin mampir ke NICU sebelum pulang, sekadar melihat wajah si tengah dan berpamitan. Sayangnya, itu tidak diperbolehkan karena dia baru saja menjalani operasi.
![]() |
Lobi Paviliun Parhayangan (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Sesampainya di lobi, saya memesan taksi online. Saya dan Ibu pulang dengan mobil, sementara suami pulang menggunakan motor yang memang sengaja disimpan di rumah sakit selama lima hari terakhir untuk kebutuhan transportasi.
Perjalanan pulang terasa sangat menyakitkan. Setiap jalan bergelombang membuat luka operasi seperti disayat ulang. Hujan deras dan macet menambah kelabu suasana, seakan mencerminkan hati saya yang masih berat meninggalkan si tengah di NICU.
Sesampainya di rumah, suasana masih sepi. Anak-anak masih berada di rumah neneknya dan baru akan diantarkan pulang. Dua jam kemudian, mereka datang. Si sulung segera menghampiri saya di kamar. Matanya berkaca-kaca, nyaris menangis. Mungkin ia merasa lega akhirnya bisa bertemu mamanya lagi, mengingat ini adalah pertama kalinya kami terpisah lebih dari satu hari.
Setelah si sulung beranjak pergi dan bermain dengan sepupunya, saya pun menggendong si bungsu. Rasanya sedikit lega akhirnya bisa bertatap mata, memeluk dan menyusui salah satu bayi saya secara langsung. Saya bersyukur bisa berkumpul lagi di rumah dengan keluarga. Meskipun sebagian hati saya masih tertinggal di ruang NICU RSHS.
Penutup: Catatan Kecil dari Perjalanan Besar
Sekian cerita melahirkan anak kembar yang saya alami. Cerita ini saya tulis bukan hanya sebagai pengingat bagi diri sendiri, tetapi juga dengan harapan bisa menjadi kekuatan atau pelipur bagi siapa pun yang sedang menjalani perjalanan serupa. Semoga kisah ini bisa memberikan sedikit ketenangan, harapan, atau bahkan semangat baru bagi para ibu dan keluarga yang tengah berjuang dalam fase-fase awal kehidupan si kecil.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga dan sahabat-sahabat terdekat atas semua bantuan, doa, dan dukungan yang diberikan. Kehadiran kalian, baik secara langsung maupun dari kejauhan, menjadi sumber kekuatan yang sangat berarti dalam masa-masa penuh emosi ini.
Perjalanan menjadi orang tua, apalagi untuk anak kembar, memang tak selalu mudah. Tapi dengan cinta, dukungan, dan ketulusan orang-orang tercinta, setiap langkah terasa lebih ringan untuk dijalani.
Terima kasih sudah membaca hingga akhir. Sampai jumpa di cerita berikutnya.