Bismillah...
Halo semuanya! Hari ini, saya resmi berusia tiga puluh delapan tahun. Angka yang, kalau dipikir-pikir, dulu terasa begitu jauh, tapi akhirnya saya sampai juga.
Rasanya baru kemarin saya sibuk menulis diari tentang hari-hari di SMP, sibuk pendaftaran SMA, lalu masuk kuliah. Ternyata waktu telah berjalan sangat jauh, menuntun saya melewati begitu banyak masa dan tiba di titik ini.
Tulisan ini bukan sekadar pengingat bahwa usia bertambah, tetapi juga wujud rasa terima kasih atas waktu yang diberikan Tuhan. Saya hanya ingin berhenti sejenak, menengok ke belakang untuk melihat jejak yang pernah saya tinggalkan, lalu kembali menatap ke depan dengan harapan yang sederhana.
Karena, seperti kata orang, usia bukan sekadar angka. Ia adalah kumpulan kisah yang menuntun kita untuk terus tumbuh menjadi versi diri yang lebih baik.
Titik Balik yang Membentuk Saya Hari
Kalau ada satu hal yang saya pelajari dari perjalanan hidup sejauh ini, mungkin jawabannya adalah semua hal punya waktunya sendiri. Hidup merupakan perpaduan antara kebahagiaan dan kesedihan. Tidak perlu berlarut-larut ketika salah satunya datang.
Titik balik pertama yang masih saya ingat jelas adalah saat SMP. Saat itu nama saya diumumkan sebagai salah satu peraih peringkat paralel di antara sepuluh kelas. Meski sejak SD saya sudah terbiasa berprestasi, kali ini rasanya berbeda, lebih menantang, sekaligus lebih membanggakan. Dari situ kepercayaan diri dan mimpi saya semakin bertumbuh. Saya percaya dengan kerja keras dan doa, saya bisa meraih apa yang saya inginkan.
![]() |
| Masa putih biru (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Masa SMA pun menjadi bab penting yang sulit saya lupakan. Sekolah di tempat favorit yang dulu hanya bisa saya masuki saat mengikuti olimpiade membuat saya sadar betapa besarnya arti kesempatan. Di sana saya bertemu teman-teman yang cerdas, kompetitif, dan penuh semangat. Di tempat itulah saya semakin bertumbuh, mimpi saya semakin besar, lalu saya belajar menyeimbangkan antara ambisi dan kebahagiaan.
Kemudian datang masa kuliah, masa yang penuh harapan sekaligus pencarian jati diri. Diterima di jurusan impian adalah salah satu anugerah terindah dalam hidup saya. Saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dan syukurlah janji itu bisa saya tepati. Saya lulus dengan predikat cum laude. Hasil itu bukan semata tentang nilai, melainkan kumpulan perjuangan yang saya lalui: begadang mengerjakan tugas, presentasi dengan suara bergetar, sampai tumpukan draft skripsi yang harus saya sunting berkali-kali.
Namun akhir masa kuliah itu juga menjadi salah satu periode paling sulit dalam hidup saya. Menjelang skripsi, Bapak tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Dunia seolah runtuh. Wisuda yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan terasa hampa tanpa kehadiran beliau. Hari itu, kursi kosong di samping Ibu digantikan oleh Pakde, yang datang jauh-jauh hanya untuk memastikan saya tetap tersenyum di hari kelulusan.
![]() |
| Suporter wisudaku (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Beberapa bulan setelah wisuda, duka kembali datang. Pakde meninggal dunia setelah hampir sebulan koma. Kejadian ini membuat keluarga terpukul dan kehilangan. Namun rencana Tuhan sungguh di luar dugaan. Di balik kehilangan itu, sebuah kesempatan justru menghampiri saya. Saat menemani Bude pulang kembali ke Bali, saya menerima tawaran kerja yang menjadi pembuka bab baru dari kehidupan setelahnya.
Akhirnya saya bekerja di Bali. Pulau yang sejak dulu menjadi impian saya untuk tinggal. Di sanalah saya belajar lebih mandiri, mengenal teman baru, membangun karier, dan menata hidup di tanah rantau. Tidak disangka, di antara rutinitas kantor dan romantisme Pulau Bali, saya juga bertemu dengan seseorang yang akhirnya menjadi suami saya. Ia adalah rekan kerja yang perlahan mengisi hari-hari dengan tawa dan percakapan sederhana yang menenangkan.
Menghilangnya Bapak pada akhirnya berujung pada perceraian orang tua saya. Hidup rasanya berubah seketika, tapi waktu perlahan menyembuhkan luka itu, meski tak sepenuhnya. Hingga akhirnya, ketika saya sudah bekerja, Bapak kembali muncul. Hubungan kami memang tidak lagi sama seperti dulu, tapi cukup untuk mengingatkan saya bahwa setiap kesalahan orang tua, seberat apa pun, sebagai anak, saya selalu punya ruang untuk memaafkan.
Empat tahun setelah pindah ke Bali, lembaran baru pun dimulai. Saya menikah, pindah ke Bandung, dan sembilan bulan kemudian menjadi seorang ibu. Menjalani dua peran baru itu melelahkan sekaligus menenangkan. Ada hari-hari penuh tawa, juga malam-malam dengan air mata. Namun justru di situ saya belajar bahwa cinta bukan hanya soal bahagia, tapi juga tentang bertahan dan tumbuh bersama.
![]() |
| Menjadi orang tua baru (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Tiga tahun kemudian, hidup kembali mengajak saya berpetualang: dari Bandung ke Batam, lalu ke Jakarta. Dua kota dengan cerita yang berbeda, tapi sama-sama menorehkan jejak penting dalam hidup saya. Di sana saya bertemu orang-orang baru, belajar hal-hal baru, dan menata ulang mimpi yang sempat saya simpan.
Pada periode ini pandemi datang, dan bersamanya kehilangan kembali hadir. Bapak pergi untuk selamanya. Dunia seperti berhenti sesaat. Saya masih ingat kesedihan hari itu, juga rasa bersalah karena tidak bisa hadir di saat-saat terakhirnya. Bahkan saya baru bisa melihat makamnya satu tahun kemudian.
Waktu memang akhirnya menenangkan, tapi tidak pernah sepenuhnya menyembuhkan. Meski begitu, saya tahu satu hal: cinta tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berganti bentuk, dari kehadiran menjadi kenangan yang tertinggal di dada.
![]() |
| Akhirnya kami tinggal berempat (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Tahun-tahun berikutnya datang dengan kejutan lain. Kami kembali ke Bandung dan saya hamil anak kembar. Kebahagiaan itu nyaris tak bisa diungkapkan dengan kata. Sayangnya, Tuhan punya rencana berbeda. Tak lama setelah dilahirkan, salah satunya berpulang sebelum sempat saya timang-timang. Luka itu masih sesekali terasa, tapi kini lebih sering saya ingat dengan senyuman. Mungkin karena saya tahu, di suatu tempat, ada satu bagian hati saya yang sudah lebih dulu sampai di surga.
Peristiwa itu menjadi salah satu titik balik terbesar dalam hidup saya. Kejadian itu mengajarkan bahwa cinta tidak hanya diukur dari lamanya kebersamaan, tapi juga dari dalamnya rasa yang tertinggal.
Semua titik balik itu, suka dan duka, tawa dan tangis, kini terasa seperti benang-benang halus yang menenun siapa saya hari ini. Saya tidak pernah kehilangan jati diri, hanya berpindah dari satu fase menuju fase lainnya.
Harapan yang Ingin Dicapai di Usia Baru
Setelah semua yang saya lalui, saya tidak merasa perlu menuntut banyak hal dari kehidupan. Tapi bukan berarti saya berhenti bermimpi. Tahun ini, saya ingin membuat daftar kecil tentang hal-hal yang ingin saya lakukan satu tahun ke depan.
Keinginan terbesar saya sederhana tapi sangat penting, yaitu ingin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Bukan hanya menjalankan yang wajib, tapi juga membiasakan diri menunaikan ibadah sunah dengan hati yang lebih sadar dan ikhlas. Saya ingin ibadah tak lagi sekadar rutinitas, melainkan waktu terbaik untuk menenangkan diri, bersyukur, dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan.
Saya juga ingin mulai rutin berolahraga, bukan hanya sekadar untuk mengejar bentuk tubuh ideal, tapi agar tubuh tetap kuat menemani saya menjalani hari-hari sebagai ibu, istri, dan perempuan yang masih punya banyak mimpi. Saya ingin lebih sering berjalan kaki, menikmati udara pagi tanpa tergesa-gesa.
Selain itu, saya juga bermimpi untuk menjelajahi kota-kota baru yang belum sempat saya kunjungi, terutama di Pulau Jawa, seperti Bogor, Semarang, dan Madiun. Menikmati suasana kota, menjajal kuliner khas daerah, serta mengunjungi tempat wisata. Bukan perjalanan mewah, hanya petualangan kecil yang bisa menambah cerita.
Tak kalah penting, saya harus lebih menyempatkan diri untuk membaca. Ada banyak buku yang sudah lama menumpuk di rak, juga di aplikasi membaca digital lainnya. Setahun ke depan saya ingin meluangkan waktu setiap malam, walau hanya sepuluh menit, untuk membaca buku-buku yang selama ini sudah ada dalam daftar panjang saya. Membaca akan menjadi modal utama untuk menyelesaikan draft novel berikutnya.
Terakhir, saya ingin lebih sering bersyukur. Saya ingin mengurangi kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain, dan mulai lebih menghargai proses sendiri. Saya ingin lebih lembut pada diri sendiri, memberi ruang untuk istirahat, dan tidak lagi merasa bersalah ketika butuh jeda dari rutinitas.
Di Ujung Perjalanan, Selalu Ada Syukur
Menulis ini membuat saya sadar betapa banyak hal telah terjadi dalam hidup. Ada tawa, air mata, kehilangan, dan kebahagiaan yang silih berganti. Tapi di antara semuanya, ada satu benang merah yang selalu sama: saya bertahan dan saya tumbuh.
Di usia yang ke-38 ini, saya ingin memeluk semua versi diri saya, yang rajin belajar, yang pernah takut gagal, yang pernah kehilangan, dan yang kini belajar menikmati hidup dengan lebih tenang.
Kalau boleh meminta sesuatu pada Tuhan, saya hanya ingin diberi kesehatan, hati yang tenang, dan waktu yang cukup untuk mencintai orang-orang terdekat. Karena pada akhirnya, bukan seberapa jauh saya sudah melangkah yang paling penting, tapi bagaimana saya menikmati setiap langkah itu dengan rasa syukur.
Selamat datang, usia ke-38. Semoga setahun ke depan menjadi cerita baru yang penuh kehangatan, kejutan manis, dan keberanian untuk terus menjadi versi terbaik dari diri saya sendiri.
Bandung, 24 Oktober 2025
17.10 WIB


































